Hadis Tsaqalain dalam Sunan Tirmidzi yang dikritik oleh Ali As Salus dalam Imamah dan Khilafah adalah yang pertama yaitu
Bercerita kepada kami Nashr bin Abdurrahman Al Kufi dari Zaid bin Hasan Al Anmathi dari Ja’far bin Muhammad dari Ayahnya dari Jabir bin Abdullah, ia berkata’saya melihat Rasulullah SAW pada saat menunaikan ibadah haji pada hari Arafah,Beliau SAW menunggangi untanya al Qashwa dan saya mendengar Beliau SAW berkata”wahai manusia,sesungguhnya Aku meninggalkan sesuatu bagimu yang jika kamu berpedoman kepadanya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Itrati Ahlul BaitKu”. (Shahih Sunan Tirmidzi no 3786 takhrij Syaikh Al Albani)
Hadis ini dinyatakan dhaif oleh Ali As Salus karena dalam perawinya terdapat Zaid bin Hasan Al Anmathi al Kufi, beliau berkata
”tentang Zaid, Abu Hatim berkata”Ia orang Kufah yang datang ke Baghdad dan termasuk mungkar hadis”.
Tanggapan kami adalah Mengenai hadis riwayat Jabir, Imam Tirmidzi telah menyatakan hasan terhadap hadis ini. Syaikh Al Albani pun telah menshahihkan hadis ini dalam Shahih Sunan Tirmidzi hadis no3786. Dalam hal ini kami menyatakan bahwa hadis ini shahih karena Walaupun Zaid bin Hasan Al Anmathi Al Kufi dinyatakan hadisnya mungkar oleh Abu Hatim, beliau Zaid telah dikuatkan oleh Ibnu Hibban dan telah dinyatakan tsiqah(dalam Tahzdib at Tahdzib dan Mizan al Itidal). Apalagi kami tidak melihat kemungkaran dalam hadis di atas.
Kemudian hadis kedua Sunan Tirmidzi yang dikritik Ali As Salus dalam Imamah dan Khilafah adalah
Ibnu Mundzir al Kufi bercerita kepada kami, dari Muhammad bin Fudhail dari A’masy dari Athiyah dari Abu Sa’id. Dan dari A’masy dari Habib bin Abu Tsabit dari Zaid bin Arqam, keduanya berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Sesungguhnya Aku meninggalkan sesuatu bagimu. Jika kamu berpegang teguh kepadanya maka kamu tidak akan sesat selama-lamanya. Yaitu dua hal yang salah satunya lebih besar daripada yang lain;Kitabullah,tali panjang yang terentang dari langit ke bumi dan Ahlul BaitKu.Keduanya tidak akan berpisah sampai datang ke telaga.Maka lihatlah bagaimana kamu melanggar keduanya”.(Shahih Sunan Tirmidzi no 3788 takhrij Syaikh Al Albani).
Sedangkan hadis kedua ini juga dinyatakan dhaif oleh Ali as Salus dengan alasan sebagai berikut. Beliau berkata tentang sanad hadis ini
”Namun, tidak diketahui sanad manakah yang asli. Setelah saya perhatikan empat riwayat dari Athiyyah dari Abu said sebelumnya,maka saya dapatkan kesamaannya dengan riwayat ini dalam segi arti dan susunan katanya. Saya dapat menegaskan bahwa sanad ini adalah yang asli dan yang disebutkan dalam Musnad “.
Ali As Salus menjelaskan bahwa hadis riwayat Tirmidzi ini sanad yang asli adalah sanad dengan riwayat Athiyyah dari Abu Said bukan sanad dengan riwayat Habib dari Zaid bin Arqam. Menurut beliau riwayat Zaid bin Arqam itu terdapat dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad, Beliau berkata tentang hadis riwayat Zaid bin Arqam dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad
”hadis ini sama dengan riwayat Tirmidzi namun dari sisi arti kedua riwayat ini banyak berbeda sehingga kita tidak bisa menggabungkan keduanya. Lebih tepat jika kita menggabungkan riwayat Tirmidzi dengan empat riwayat Abu Said dan menjauhi riwayat Zaid bin Arqam”.
Ali As Salus menyatakan bahwa yang menggabungkan dua sanad ini adalah Ali bin Mundzir al Kufi dan Muhammad bin Fudhail. Beliau berkata
”Ali bin Mundzir adalah seorang syiah kufah”.tentang dia Ibnu Abi Hatim berkata”saya mendengar darinya bersama ayah saya dan dia itu sangat jujur dan tsiqah”. Ibnu Namir berkata”dia tsiqah dan sangat jujur”. Daruquthni berkata”tidak mengapa”. Demikian juga pendapat Maslamah bin Qasim, tetapi dengan tambahan “Dia itu syiah” dan Ismail berkata”dalam hati saya terdapat sesuatu tentang dia, dan saya bukan orang terakhir yang mengatakan ini”Ibnu Majah berkata”saya mendengar dia berkata”saya haji 85 kali dan kebanyakan saya laksanakan dengan berjalan kaki”.
Ali As Salus juga melanjutkan
”keterangan yang didengar Ibnu Majah itulah yang membuat kita ragu menjadikan pendapat Ibnul Mundzir sebagai hujjah sebab bagaimana mungkin dia berhaji sebanyak 85 kali dan banyak diantaranya dilakukan dengan berjalan kaki?namun wajar jika seorang syiah seperti dia menggabungkan dua riwayat yang mengandung persamaan dalam satu sisi namun mengandung perbedaan disisi lain tentang keutamaan Ahlul Bait”.
Ali as Salus juga mengatakan
”riwayat ini mengandung kelemahan lain yaitu terputus di dua tempat. A’masyi dan Habib bin Abi Tsabit itu mudallis dan keduanya meriwayatkan dengan ‘an’an. A’masyi dan Habib adalah perawi yang tsiqah. A’masyi mendengar dari Habib dan Habib mendengar dari Zaid bin Arqam. Namun dalam riwayat ini keduanya tidak saling mendengar. Dan A’masyi adalah seorang syiah kufah begitu juga Habib. Dalam lingkungan kufah kemungkinan besar hadis-hadis yang tidak cermat dan tidak teliti banyak tersebar”.
Kemudian Ali As Salus melanjutkan
”dalam Mustadrak, Al Hakim meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang memberikan pengertian bahwa A’masyi mendengar dari Habib. Ini membutuhkan penelitian sanad. Dalam sanad itu terdapat banyak perawi. Dan jika benar A’masyi mendengar dari Habib maka masih banyak sisi lain yang menunjukkan dhaifnya hadis ini”.
Tanggapan Kami.
Sedangkan kritikan Ali As Salus terhadap hadis kedua dalam Sunan Tirmidzi diatas perlu ditelaah kembali karena terdapat banyak hal yang perlu diluruskan. Berikut tanggapan terhadap kritikan beliau. Hadis dalam Sunan Tirmidzi ini memiliki dua sanad yaitu
· Dari Ali bin Mundzir dari Muhammad bin Fudhail dari Amasy dari Athiyyah dari Abu Said
· Dari Ali bin Mundzir dari Muhammad bin Fudhail dari Amasy dari Habib dari Zaid bin Arqam.
Ali As Salus mengatakan bahwa sanad hadis Sunan Tirmidzi ini yang asli adalah sanad Athiyyah dari Abu Said atau sanad pertama dan bukan sanad Habib dari Zaid bin Arqam karena riwayat Zaid bin Arqam itu matannya yang benar menurutnya adalah dalam Shahih Muslim, dan Musnad Ahmad yang tidak mengandung kata-kata berpegang teguh pada Ahlul Bait melainkan hanya mengandung kata-kata dan Ahlul BaitKu, kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu.”
Pada dasarnya pendapat Ali As Salus ini dilandasi oleh prakonsepsinya bahwa hadis riwayat Zaid dalam Sunan Tirmidzi ini memiliki arti yang berbeda dengan hadis riwayat Zaid dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad. Padahal telah dinyatakan sebelumnya bahwa pendapat ini hanyalah dugaan semata karena seandainya kita hanya melihat riwayat Shahih Muslim atau Musnad Ahmad saja maka peringatan Rasulullah SAW tentang Ahlul Bait itu justru mengisyaratkan untuk berpegang teguh kepada Ahlul Bait. Oleh karena itu sebenarnya tidak ada pertentangan antara riwayat Zaid dalam Sunan Tirmidzi dan riwayat Zaid dalam Shahih Muslim atau Musnad Ahmad sehingga diharuskan untuk menafikan salah satunya.
Jadi dalam hal ini yang benar adalah dua sanad dalam hadis Sunan Tirmidzi itu dua-duanya adalah sanad yang asli, karena zhahirnya memang begitu yang terdapat dalam Sunan Tirmidzi dan tidak ada alasan yang jelas untuk menolak salah satunya .Justru dengan hadis riwayat Zaid bin Arqam dalam Sunan Tirmidzi ini dapat diketahui dengan kata-kata yang jelas bahwa peringatan Rasulullah SAW tentang Ahlul Bait dalam riwayat Shahih Muslim, Sunan Darimi dan Musnad Ahmad adalah peringatan untuk berpegang teguh pada Ahlul Bait. Hal ini menguatkan penafsiran bahwa peringatan Rasulullah SAW tentang Ahlul Bait dalam Shahih Muslim, Sunan Darimi dan Musnad Ahmad itu adalah keharusan untuk berpegang teguh kepada Ahlul Bait.
Kemudian Ali As Salus menyatakan bahwa yang menggabungkan dua sanad hadis Tirmidzi ini adalah Ali bin Mundzir Al Kufi atau Muhammad bin Fudhail. Sebelumnya akan dilihat terlebih dahulu jalan pikiran Ali As Salus, pada awalnya beliau menyatakan bahwa riwayat Athiyyah dari Abu Said adalah yang asli bukan riwayat Habib dari Zaid, riwayat Zaid menurutnya matannya adalah dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad, jadi riwayat Zaid dalam Sunan Tirmidzi itu tidak benar karena menurutnya arti hadis itu berbeda dengan riwayat Zaid dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad. Kemudian beliau menyatakan bahwa yang menyatukan dua riwayat yang berbeda ini kemungkinan adalah Ali bin Mundzir al Kufi atau Muhammad bin Fudhail, dengan dasar ini beliau mencari cacat perawi ini yang dapat menunjang pernyataan beliau, dengan kata lain beliau menetapkan sesuatu yang meragukan pada perawi ini yaitu Ali bin Mundzir dan Muhammad bin Fudhail. Sayangnya pernyataan beliau itu hanyalah celaan yang dicari-cari karena kedudukan perawi-perawi ini telah dikenal tsiqat di kalangan ulama hadis.
Ali bin Mundzir
Dalam Tahdzib at Tahdzib jilid 7 hal 386 dan Mizan Al I’tidal jilid 3 hal 157, Ali bin Mundzir telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama seperti Ibnu Abi Hatim, Ibnu Namir, Imam Sha’sha’I dan lain-lain, walaupun Ali bin Mundzir dikenal sebagai seorang syiah. Mengenai hal ini Mahmud Az Za’by dalam bukunya Sunni yang Sunni hal 71 menyatakan tentang Ali bin Mundzir ini
“para ulama telah menyatakan ketsiqatan Ali bin Mundzir. Padahal mereka tahu bahwa Ali adalah syiah. Ini harus dipahami bahwa syiah yang dimaksud disini adalah syiah yang tidak merusak sifat keadilan perawi dengan catatan tidak berlebih-lebihan. Artinya ia hanya berpihak kepada Ali bin Abu Thalib dalam pertikaiannya melawan Muawiyah. Tidak lebih dari itu. Inilah pengertian tasyayyu menurut ulama sunni. Karena itu Ashabus Sunan(Sunan Abu Dawud,Sunan Ibnu Majah, Sunan Tirmidzi, Sunan An Nasai) meriwayatkan dan berhujjah dengan hadis Ali bin Mundzir”.
Oleh karena itu meragukan riwayat Ali bin Mundzir atau menuduh beliau menyatukan dua riwayat yang berbeda hanya karena beliau seorang syiah seperti yang tampak dalam kata-kata Ali As Salus
“namun wajar jika seorang syiah seperti dia menggabungkan dua riwayat yang mengandung persamaan dalam satu sisi namun mengandung perbedaan disisi lain tentang keutamaan Ahlul Bait”
adalah tidak benar karena ketsiqatan Ali bin Mundzir sudah dikenal dikalangan ulama. Sedangkan jarh yang ditetapkan dalam tulisan Ali As Salus itu adalah jarh yang tidak jelas dan tidak meragukan Ali bin Mundzir sebagai perawi yang tsiqah.
Seperti pernyataan Ali As Salus bahwa Ismail berkata”dalam hati saya terdapat sesuatu tentang dia, dan saya bukan orang terakhir yang mengatakan ini. Tidak ada jarh atau celaan yang jelas dari kata-kata ini dan tidak bisa dimengerti apa yang ada dalam hati Ismail tentang Ali bin Mundzir. Atau perkataan Ali As Salus ”Ibnu Majah berkata”saya mendengar dia berkata”saya haji 85 kali dan kebanyakan saya laksanakan dengan berjalan kaki”. Ali As Salus juga melanjutkan ”keterangan yang didengar Ibnu Majah itulah yang membuat kita ragu menjadikan pendapat Ibnul Mundzir sebagai hujjah. Sebab bagaimana mungkin dia berhaji sebanyak 85 kali dan banyak diantaranya dilakukan dengan berjalan kaki?.
Menurut kami jelas tidak ada hubungannya antara Ibnu Mundzir berhaji berapa kali dan bagaimana caranya berhaji dengan kemampuannya meriwayatkan hadis. Beliau Ali bin Mundzir sekali lagi telah dikenal tsiqah dan sangat jujur dan bagaimana mungkin Ali As Salus meragukan Ali bin Mundzir sebagai hujjah dengan mengutip perkatan Ibnu Majah padahal Ibnu Majah sendiri telah berhujjah dengan riwayat Ali bin Mundzir dalam kitabnya Sunan Ibnu Majah. Jadi kesimpulannya, Ali bin Mundzir adalah perawi tsiqah dan sangat jujur dan tidak mungkin perawi seperti ini mengutak–atik riwayat hadis yang akan disampaikannya.
Muhammad bin Fudhail
Sedangkan tentang Muhammad bin Fudhail, dalam Hadi As Sari jilid 2 hal 210, Tahdzib at Tahdzib jilid 9 hal 405 dan Mizan al Itidal jilid 4 hal 9 didapat keterangan tentang beliau.
· Imam Ahmad berkata ”Ia berpihak kepada Ali, tasyayyu. Hadisnya baik”.
· Yahya bin Muin menyatakan Muhammad bin Fudhail adalah tsiqat.
· Abu Zara’ah berkata”ia jujur dan ahli Ilmu”.
· Menurut Abu Hatim, Muhammad bin Fudhail adalah seorang guru.
· Nasai tidak melihat sesuatu yang membahayakan dalam hadis Muhammad bin Fudhail.
· Menurut Abu Dawud ia seorang syiah yang militan.
· Ibnu Hibban menyebutkan dia didalam Ats Tsiqat seraya berkata”Ibnu Fudhail pendukung Ali yang berlebih-lebihan”.
· Ibnu Saad berkata ”Ia tsiqat, jujur dan banyak memiliki hadis. Ia pendukung Ali”.
· Menurut Ajli, Ibnu Fudhail orang kufah yang tsiqat tetapi syiah.
· Ali bin al Madini memandang Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis.
· Daruquthni juga menyatakan Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis.
Jadi kesimpulannya Muhammad bin Fudhail adalah seorang yang tsiqat dan jujur sedangkan tentang syiah atau tasyayyu beliau itu tidak mengganggu sedikitpun kredibilitas beliau sebagai perawi yang dikenal tsiqat. Hal ini juga dijelaskan oleh Mahmud Az Za’by dalam Sunni yang Sunni hal 79, yang berkata
”…para ulama hadis sepakat untuk menerima riwayatnya dan berhujjah dengan hadisnya. Mengenai tuduhan bahwa ia(Muhammad bin Fudhail) tasyayyu itu tidak merusak namanya sebab ia terkenal sebagai orang yang jujur amanah dan tidak mau berdusta.”
Oleh karena itu sungguh tidak benar menyatakan bahwa Muhammad bin Fudhail kemungkinan menyatukan dua riwayat hadis yang berbeda maknanya(berbeda disini maksudnya berbeda menurut Ali As Salus) dalam hadis Sunan Tirmidzi diatas seperti yang dinyatakan oleh Ali As Salus, karena tindakan itu sama halnya merubah atau mencampuradukkan hadis dan ini tidak sesuai dengan karakter beliau yang dikenal tsiqat dan jujur oleh banyak ulama hadis.
Kemudian pernyataan Ali As Salus bahwa hadis dalam Sunan Tirmidzi tersebut putus di dua tempat kurang tepat karena sebenarnya hadis itu sanadnya bersambung hanya saja diriwayatkan secara mu’an’an(menggunakan lafal ‘an atau dari) yaitu ‘Amasyi dari Habib dari Zaid bin Arqam. Pada dasarnya penyampaian hadis memang menggunakan lafal akhbarana atau hadatsana, tetapi juga terdapat penyampaian dengan lafal ’an(dari). Hadis dengan lafal ‘an tidaklah langsung dinyatakan sebagai hadis yang dhaif atau tidak bersambung karena banyak terdapat hadis dengan lafal ‘an ini telah dinyatakan shahih atau dijadikan hujjah oleh para ulama seperti hadis dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Ahmad dan Mustadrak Al Hakim. Hadis-hadis ini(dengan lafal ‘an) dijadikan hujjah atau shahih dengan alasan sebagai berikut
· Hadis ini diriwayatkan oleh perawi-perawi yang tsiqat dan tidak diriwayatkan oleh mudallis yang amat buruk tadlisnya.
· Hadis ini dikuatkan dengan sanad-sanad yang lain yang bersambung dan shahih.
· Terdapat keterangan yang jelas bahwa para perawi tersebut saling mendengar.
· Terdapat hadis lain dengan perawi yang sama tetapi menggunakan lafal akhbarana atau hadatsana.
Telah terbukti bahwa A’masy mendengar dan belajar hadis dari Habib dan Habib mendengar hadis dari Zaid bin Arqam seperti yang telah dinyatakan sendiri oleh Ali As Salus lewat kata-kata beliau “A’masyi mendengar dari Habib dan Habib mendengar dari Zaid bin Arqam. Namun dalam riwayat ini keduanya tidak saling mendengar”. (Ali As Salus berkata bahwa dalam riwayat ini keduanya tidak saling mendengar karena mereka menggunakan lafal ’an dan bukan akhbarana). Jadi perawi-perawi hadis tersebut pernah bertemu dan mendengar hadis secara langsung oleh karena itu tidaklah tepat menyatakan riwayat ini dhaif walaupun dalam riwayat ini menggunakan lafal ‘an.
Selain itu Syaikh Ahmad Syakir telah menshahihkan cukup banyak hadis dengan lafal’an dalam Musnad Ahmad salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan dengan lafal ‘an oleh A’masyi dan Habib(A’masy dari Habib dari…salah seorang sahabat). Apalagi dalam Al Mustadrak Al Hakim telah meriwayatkan hadis tsaqalain yang shahih dengan keterangan bahwa A’masy mendengar dari Habib bin Abu Tsabit. Mengenai hadis dalam Sunan Tirmidzi diatas hadis ini diriwayatkan oleh perawi-perawi yang terbukti tsiqat oleh para ulama, dikuatkan dengan sanad-sanad yang lain seperti riwayat Qasim dalam Musnad Ahmad dan hadis dalam Mustadrak Al Hakim. Oleh karena itu Hadis riwayat Tirmidzi yang dipermasalahkan oleh Ali As Salus itu telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi hadis no 3788 dan oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy .
Jadi dari semua tanggapan diatas kami beranggapan bahwa pernyataan Ali As Salus adalah tidak benar dan hadis dalam Sunan Tirmidzi tersebut (riwayat Habib dari Zaid) adalah shahih.
Love AhlulBayt
Saturday, 20 August 2011
Friday, 19 August 2011
Pandangan Sunni Terhadap Hadis 12 Khalifah
BAGIAN I
Hadis 12 Pemimpin
روى جابر بن سَمُرة فقال: سمعتُ النبيّ صلّي الله عليه [وآله] وسلّم يقول: يكون اثنا عشر أميراً. فقال كلمةً لم أسمعها، فقال أبي: أنّه قال: كلّهم من قريش.
Jabir bin Samurah meriwayatkan, “Aku mendengar Nabi (saww) berkata” :”Kelak akan ada Dua Belas Pemimpin.” Ia lalu melanjutkan kalimatnya yang saya tidak mendengarnya secara jelas. Ayah saya mengatakan, bahwa Nabi menambahkan, ”Semuanya berasal dari suku Quraisy.”[Sahih Bukhari (inggris), Hadits: 9.329, Kitabul Ahkam; Sahih al-Bukhari (arab) , 4:165, Kitabul Ahkam]
BAGIAN II
Pendapat Para Ulama Sunni
Ibn Arabi
…فعددنا بعد رسول الله صلّي الله عليه [وآله] وسلّم اثني عشر أميرًا، فوجدنا أبابكر، عمر، عثمان، عليًّا، الحسن، معاوية، يزيد، معاوية بن يزيد، مروان، عبد الملك بن مروان، الوليد، سليمان، عمر بن عبد العزيز، يزيد بن عبدالملك ، مروان بن محمد بن مروان، السفّاح،… وبعده سبعة وعشرون خليفة بن بني العبّاس. وإذا عددنا منهم اثني عشر انتهي العدد بالصّورة إلي سليمان بن عبد الملك. وإذا عددناهم بالمعني كان معنا منهم خمسة، الخلفاء الاربعة، وعمر بن عبد العزيز.
ولم أعلم للحديث معني. ابن العربيّ، «شرح سنن التّرمذيّ» 9: 68 ـ 69
Kami telah menghitung pemimpin (Amir-Amir) sesudah Nabi (sawa) ada dua belas. Kami temukan nama-nama mereka itu sebagai berikut: Abubakar, Umar, Usman, Ali, Hasan, Muawiyah, Yazid, Muawiyah bin Yazid, Marwan, Abdul Malik bin Marwan, Yazid bin Abdul Malik, Marwan bin Muhammad bin Marwan, As-Saffah… Sesudah ini ada lagi 27 khalifah Bani Abbas.
Jika kita perhitungkan 12 dari mereka, kita hanya sampai pada Sulaiman. Jika kita ambil apa yang tersurat saja, kita cuma mendapatkan 5 orang di antara mereka dan kepadanya kita tambahkan 4 ‘Khalifah Rasyidin’, dan Umar bin Abdul Aziz….
Saya tidak paham arti hadis ini. [Ibn Arabi, Syarh Sunan Tirmidzi, 9:68-69]
Qadi Iyad Al-Yahsubi
قال: إنّه قد ولي أكثر من هذا العدد. وقال: وهذا اعتراض باطل لانّه صلّى الله عليه [وآله] وسلّم لم يقل: لايلي الاّ اثنا عشرخليفة؛ وإنّما قال: يلي. وقد ولي هذا العدد، ولايضرّ كونه وُجد بعدهم غيرهم. النوويّ: «شرح صحيح مسلم» 12: 201 ـ 202. ابن حجر العسقلانيّ: «فتح الباري» 16: 339
Jumlah khalifah yang ada lebih dari itu. Adalah keliru untuk membatasinya hanya sampai angka dua belas. Nabi (saw) tidak mengatakan bahwa jumlahnya hanya dua belas dan bahwa tidak ada tambahan lagi. Maka mungkin saja jumlahnya lebih banyak lagi. [Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 12:201-202; Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari, 16:339]
Jalaludin as-Suyuti
إنّ المراد وجود اثني عشر خليفة في جميع مدّة الاسلام إلي يوم القيامه يعملون بالحقّ وإن لم تتوال أيّامهم…وعلى هذا فقد وُجد من الاثني عشر خليفة الخلفاء الاربعة، والحسن، ومعاوية، وابن الزّبير، وعمر بن عبد العزيز، هؤلاء ثمانية. ويحتمل أن يُضمّ إليهم المهتدي من العبّاسيّين، لانّه فيهم كعمر بن عبد العزيز في بني أُميّة. وكذلك الطاهر لما اوتي من العدل، وبقي الاثنان المنتظران أحدهما المهدي لانّه من آل بيت محمّد صلّي الله عليه [وآله] وسلّم. السّيوطي: «تاريخ الخلفاء»: 12. ابن حجر الهيثميّ: الصّواعق المحرقة: 19
Hanya ada dua belas Khalifah sampai hari kiamat. Dan mereka akan terus melangkah dalam kebenaran, meski mungkin kedatangan mereka tidak secara berurutan. Kita lihat bahwa dari yang dua belas itu, 4 adalah Khalifah Rasyidin, lalu Hasan, lalu Muawiyah, lalu Ibnu Zubair, dan akhirnya Umar bin Abdul Aziz. Semua ada 8. Masih sisa 4 lagi. Mungkin Mahdi, Bani Abbasiyah bisa dimasukkan ke dalamnya sebab dia seorang Bani Abbasiyah seperti Umar bin Abdul Aziz yang (berasal dari) Bani Umayyah. Dan Tahir Abbasi juga bisa dimasukkan sebab dia pemimpin yang adil. Jadi, masih dua lagi. Salah satu di antaranya adalah Mahdi, sebab ia berasal dari Ahlul Bait Nabi (as).” [Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, Halaman 12; Ibn Hajar al-Haytami, Al-Sawa'iq al-Muhriqa Halaman 19]
Ibn Hajar al-’Asqalani
لم ألق أحدًا يقطع في هذا الحديث، يعني بشيء معيّن؛ فانّ في وجودهم في عصر واحد يوجد عين الافتراق، فلايصحّ أن يكون المراد. ابن حجر العسقلانيّ، «فتح الباري» 16: 338 ـ 341
Tidak seorang pun mengerti tentang hadis dari Sahih Bukhari ini.
Adalah tidak benar untuk mengatakan bahwa Imam-imam itu akan hadir sekaligus pada satu saat bersamaan. [Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari 16:338-341]
Ibn al-Jawzi
وأوّل بني أُميّة يزيد بن معاوية، وآخرهم مروان الحمار. وعدّتهم ثلاثة عشر. ولايعدّ عثمان، و معاوية، ولا ابن الزّبير لكونهم صحابة. فإذا أسقطناهم منهم مروان بن الحكم للاختلاف في صحبته، أو لانّه كان متغلّبًا بعد أن اجتمع النّاسعلى عبد الله بن الزّبير صحّت العدّة…وعند خروج الخلافة من بني أُميّة وقعت الفتن العظيمة والملاحم الكثيرة حتّى استقرّت دولة بني العبّاس، فتغيّرت الاحوال عمّا كانت عليه تغيّرًا بيّنًا. ابن الجوزيّ ، «كشف المشكل» ، نقلاً عن ابن حجر العسقلانيّ في «فتح الباري» 16: 340، عن سبط ابن الجوزيّ.
Khalifah pertama Bani Umayyah adalah Yazid bin Muawiyah dan yang terakhir adalah Marwan Al-Himar. Total jumlahnya tiga belas. Usman, Muawiyah dan Ibnu Zubair tidak termasuk karena mereka tergolong Sahabat Nabi (s). Jika kita kecualikan (keluarkan) Marwan bin Hakam karena adanya kontroversi tentang statusnya sebagai Sahabat atau karena ia berkuasa padahal Abdullah bin Zubair memperoleh dukungan masyarakat, maka kita mendapatkan angka Dua Belas.… Ketika kekhalifahan muncul dari Bani Umayyah, terjadilah kekacauan yang besar sampai kukuhnya (kekuasaan) Bani Abbasiyah. Bagaimana pun, kondisi awal telah berubah total. [Ibn al-Jawzi, Kashf al-Mushkil, sebagaimana dikutip dalam Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari 16:340 dari Sibt Ibn al-Jawzi]
Al-Nawawi
ويُحتمل أن المراد [بالائمّة الاثني عشر] مَنْ يُعَزُّ الإسلام في زمنه ويجتمع المسلمون عليه.
النوويّ، «شرح صحيح مسلم» 12: 202 ـ 203
Ia bisa saja berarti bahwa kedua belas Imam berada dalam masa (periode) kejayaan Islam. Yakni ketika Islam (akan) menjadi dominan sebagai agama. Para Khalifah ini, dalam masa kekuasaan mereka, akan menyebabkan agama menjadi mulia.[Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim ,12:202-203]
Al-Bayhaqi
وقد وُجد هذا العدد (اثنا عشر) بالصفة المذكورة إلي وقت الوليد بن يزيد بن عبد الملك. ثمّ وقع الهرج والفتنة العظيمة…ثمّ ظهر ملك العبّاسيّة…وإنّما يزيدون على العدد المذكور في الخبر إذا تركت الصفة المذكورة فيه، أو عُدَّ منهم من كان بعد الهرج المذكور فيه.
ابن كثير: «البداية والنّهاية» 6: 249؛ السّيوطيّ، «تاريخ الخلفاء»:11
Angka (dua belas) ini dihitung hingga periode Walid bin Abdul Malik. Sesudah ini, muncul kerusakan dan kekacauan. Lalu datang masa dinasti Abbasiyah. Laporan ini telah meningkatkan jumlah Imam-imam. Jika kita abaikan karakteristik mereka yang datang sesudah masa kacau-balau itu, maka angka tadi menjadi jauh lebih banyak.” [Ibn Katsir, Ta'rikh, 6:249; Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa Halaman 11]
Ibn Katsir
فهذا الّذي سلكه البيهقيّ، وقد وافقه عليه جماعة من أنّ المراد بالخلفاء الاثني عشر المذكورين في هذا الحديث هم المتتابعون إلي زمن الوليد بن يزيد بن عبد الملك الفاسق الّذي قدّمنا الحديث فيه بالذّمّ والوعيد، فانّه مسلك فيه نظر…فان اعتبرنا ولاية ابن الزبير قبل عبد الملك صاروا ستّة عشر، وعلى كلّ تقدير فهم اثنا عشر قبل عمر بن عبد العزيز. فهذا الّذي سلكه على هذا التّقدير يدخل في الاثني عشر يزيد بن معاوية، و يخرج منهم عمر بن عبد العزيز الّذي أطبق الائمّة على شكره وعلى مدحه، وعدوّه من الخلفاء الرّاشدين، وأجمع الناس قاطبة على عدله. ابن كثير، «البداية والنّهاية» 6: 249 ـ 250
Barang siapa mengikuti Bayhaqi dan setuju dengan pernyataannya bahwa kata ‘Jama’ah’ berarti Khalifah-khalifah yang datang secara tidak berurutan hingga masa Walid bin Yazid bin Abdul Malik yang jahat dan sesat itu, maka berarti ia (orang itu) setuju dengan hadis yang kami kritik dan mengecualikan tokoh-tokoh tadi.
Dan jika kita menerima Kekhalifahan Ibnu Zubair sebelum Abdul Malik, jumlahnya menjadi enam belas. Padahal jumlah seluruhnya seharusnya dua belas sebelum Umar bin Abdul Aziz. Dalam perhitungan ini, Yazid bin Muawiyah termasuk di dalamnya sementara Umar bin Abdul Aziz tidak dimasukkan. Meski demikian, sudah menjadi pendapat umum bahwa para ulama menerima Umar bin Abdul Aziz sebagai seorang Khalifah yang jujur dan adil. [Ibn Katsir, Ta'rikh, 6:249-250]
MEREKA BINGUNG ?
Kita perlu pendapat seorang ulama Sunni lain yang dapat mengklarifikasi siapa Dua Belas Penerus, Khalifah, para Amir atau Imam-imam sebenarnya.
Al-Dzahabi mengatakan dalam Tadzkirat al-Huffaz , jilid 4, halaman 298, dan Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam al-Durar al Kaminah, jilid 1, hal. 67, bahwa Shadrudin Ibrahim bin Muhammad bin al-Hamawayh al-Juwaini al-Syafi’i adalah seorang ahli Hadis yang mumpuni.
Lebih lengkap tentang Al-Juwaini, silahkan rujuk catatan Al-Muhadits Al-Juwaini Asy-Syafi’i (ra) dan Hadis Tentang Sayyidah Fathimah sa“
BAGIAN III
Al-Juwayni Asy-Syafi’i :
عن عبد الله بنعبّاس رضي الله عنه، عن النّبيّ صلّي الله عليه [وآله] وسلّم أنّه قال: أنا سيّد المُرسَلين، وعليّ بن أبي طالب سيّدالوصيّين، وأنّ أوصيائي بعدي اثنا عشر، أوّلهم عليّ بن أبي طالب، وآخرهم القائم.
dari Abdullah bin Abbas (ra) bahwa Nabi (sawa) mengatakan,”Saya adalah penghulu para Nabi dan Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin para penerus, dan sesudah saya akan ada dua belas penerus. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah al-Qaim.”
عن ابن عبّاس رضي الله عنه، عن النبيّ صلّي الله عليه [وآله] وسلّم أنّه قال: أنّ خلفائي وأوصيائيوححج الله على الخلق بعدي لاثنا عشر، أوّلهم أخي، وآخرهم وَلَدي. قيل: يا رسول الله، ومن أخوك؟ قال: عليّ بن أبيطالب. قيل: فمن وَلَدُكَ؟ قال: المهديّ الّذي يملاها قسطًا وعدلاً كما مُلئت جورًا وظلمًا. والّذي بعثني بالحقّ بشيرًا لو لم يبق من الدّنيا الاّ يوم واحد لطَوَّل الله ذلك اليوم حتّي يخرج فيه ولدي المهدي، فينزلروح الله عيسى بن مريم فيُصلّي خلفَهُ، وتُشرق الارض بنور ربّها، ويبلغ سلطانه المشرق والمغرب.
Dari Ibnu Abbas (r) bahwa Rasulullah (sawa) berkata: ”Sudah pasti bahwa washi-washiku dan Bukti (hujjah) Allah bagi makhluk sesudahku ada dua belas. Yang pertama di antara mereka adalah saudaraku dan yang terakhir adalah anak (cucu) ku.” Orang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah saudaramu itu?”. Beliau menjawab: “Ali bin Abi Thalib.” Lalu beliau ditanyai lagi: “ Dan siapakan anak (cucu) mu itu?” Nabi yang suci (sawa) menjawab: ”Al-Mahdi. Dia akan mengisi bumi dengan keadilan dan persamaan ketika ia (bumi) dipenuhi ketidakadilan dan tirani. Dan demi Yang Mengangatku sebagai pemberi peringatan dan memberiku kabar gembira, meski seandainya masa berputarnya dunia ini tinggal sehari saja, Allah SWT akan memperpanjang hari itu sampai diutusnya (anakku) Mahdi, kemudian ia akan disusul Ruhullah Isa bin Maryam (as) yang turun ke bumi dan berdoa di belakangnya (Mahdi). Dunia akan diterangi oleh sinarnya, dan kekuatannya akan mencapai hingga ke timur dan ke barat.”
رسول الله صلّي الله عليه [وآله] وسلّم أنّه قال: أنا، وعليّ، والحسن، والحسين، وتسعة من ولد الحسين مطهّرون معصومون. الجوينيّ، «فرائد السمطين» مؤسّسة المحموديّ للطّباعة والنشر، بيروت، 1978، ص
Rasulullah (sawa) mengatakan: ”Aku dan Ali dan Hasan dan Husain dan sembilan anak cucu Husain adalah yang disucikan (dari dosa) dan dalam kebenaran.” [Al-Juwaini, Fara'id al-Simthain, Mu'assassat al-Mahmudi li-Taba'ah, Beirut 1978, h. 160.]
Di antara semua mazhab Islam, hanya Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah yang percaya pada individu-individu sebagai Dua Belas orang dari Ahlul Bait Raulullah saww yang berhak sebagai Penerus Rasulullah saww.
Menjawab : Ayat Bai'ah Redwan
Salah satu ayat yang sering digunakan golongan Ahlusunnah untuk membuktikan keadilan para sahabat ialah ayat surah Al-Fath ayat 18. Mereka mendakwa seluruh sahabat yang hadir di dalam peristiwa tersebut mendapat keredhaan Ilahi. Allah (s.w.t) berfirman:
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا . الفتح / 18 .
Demi sesungguhnya! Allah redha akan orang-orang yang beriman, ketika mereka memberikan pengakuan taat setia kepadamu (wahai Muhammad) di bawah naungan pohon (yang termaklum di Hudaibiyah); maka (dengan itu) ternyata apa yang sedia diketahuiNya tentang (kebenaran iman dan taat setia) yang ada dalam hati mereka, lalu Ia menurunkan semangat tenang tenteram kepada mereka, dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat masa datangnya- Surah Al-Fatḥ ayat 18.
Jawapan pertama: Ayat ini tidak meliputi seluruh sahabat, namun paling kurang hanyalah terkena pada mereka yang hadir dalam peristiwa Baiʽatul Riḍwān dan bilangan mereka yang dinukilkan oleh ulama Ahlusunnah adalah sekitar 1300 hingga 1400 orang. Muḥammad bin Ismāʽīl Al-Bukhārī menulis:
4463 ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ أَلْفًا وَأَرْبَعَ مِائَةٍ .
صحيح البخاري ، ج6 ، ص45 .
Daripada Jābir yang berkata: Kami seramai seribu empat ratus orang telah berada di hari Al-Ḥudaybiyah - Saḥīḥ Al-Bukhārī, jilid 6 halaman 45.
Jumlah ini tidaklah meliputi lebih seratus dua puluh ribu orang sahabat Rasul di zaman kewafatan baginda. Oleh itu ayat ini tidaklah menunjukkan keadilan seluruh sahabat mahu pun keredhaan Allah kerana terdapat pengkhususan dalam ayat tersebut.
Jawapan ke-dua: Keredhaan Allah juga tidak meliputi semua orang yang memberi Baiʽat pada hari tersebut, bahkan keredhaan itu hanyalah untuk mereka yang memberikan Baiʽat dengan iman di dalam hati. Ini disebabkan Allah meletakkan syarat keimanan di dalam hati untuk keredhaan-Nya « رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ » . Dengan tidak memenuhi syarat tersebut, maka seseorang itu akan dinafikan dari keredhaan tersebut.
Ini bermaksud sekurang-kurangnya Allah (s.w.t) meredhai seluruh orang yang beriman. Walau bagaimana pun tidak ada bukti bahawa seluruh orang yang memberi Baiʽat dalam peristiwa tersebut mukmin hakiki. Oleh sebab itu Allah (s.w.t) mengikat dengan kata-kata: « عَنِ الْمُؤْمِنِينَ ». Oleh itu kaum munafiqin seperti Abdullah bin Ubai dan orang yang mempunyai syak dalam iman tidak boleh dikatakan memberi Baiʽat yang hakiki. Di samping tidak dikategotikan sebagai Baiʽat hakiki, mereka ini juga tidak mendapat keredhaan tersebut sebagaimana orang beriman yang tidak hadir di dalam peristiwa itu.
Dengan ini, ayat ini tidak termasuk orang yang mengesyaki kenabian Muhammad (s.a.w) seperti Umar bin Al-Khattab pada kejadian itu dan setelah peristiwa itu, bahkan juga ia tidak memberikan Baiʽat dengan keimanan. Detik-detik keraguan Umar terhadap kenabian Rasulullah banyak tercatat secara terperinci di dalam kitab-kitab Ahlusunnah di mana ringkasannya adalah seperti berikut:
Pada suatu ketika Rasulullah (s.a.w) melihat di dalam mimpinya bahawa baginda memasuki Makkah bersama para sabahat mengerjakan Ṭawaf di BaituLlah. Pagi keesokan harinya baginda memaklumkannya kepada para sahabat. Mereka bertanya kepada Rasul tentang mimpi tersebut. Lantas baginda menjawab “Insyallah kita akan memasuki kota Makkah dan mengerjakan Umrah”, namun baginda tidak menentukan bilakah perkara ini akan terjadi.
Semua orang sudah bersiap sedia untuk bergerak dan ketika mereka sampai di Hidaibiyah, musyrikin Quraysh sudah mengetahui kedatangan Rasulullah (s.a.w) dan para sahabat baginda. Maka Musyrikin Quraysh pun bersiap-siap menghalang kedatangan rombongan ini ke Kota Makkah dengan senjata. Oleh kerana matlamat Rasulullah (s.a.w) ke Makkah hanyalah dengan niat menziarahi BaituLlah dan bukan untuk berperang, baginda membuat perjanjian dengan Musyrikin Quraysh bahawa rombongannya tidak akan memasuki Kota Makkah pada tahun ini. Namun pada tahun hadapan mereka tidak dihalang mengerjakan ‘Umrah. Perkara ini menyebabkan Umar bin Al-Khattab dan orang yang sama pemikiran dengannya merasa bimbang dan mengesyaki kenabian Rasulullah (s.a.w) dan (Na’uzubillah) beliau turut menyangka Rasulullah (s.a.w) seorang penipu. Oleh sebab itu beliau memprotes dengan nada yang agak keras. Dhahabī di dalam Tārikh Al-Islām menukilkan kisah ini sebagai:
... فقال عمر : والله ما شككت منذ أسلمت إلا يومئذ ، فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم فقلت : يا رسول الله ، ألست نبي الله قال : بلى قلت : ألسنا على الحق وعدونا على الباطل قال : بلى قلت : فلم نعطي الدنية في ديننا إذا قال : إني رسول الله ولست أعصيه وهو ناصري . قلت : أولست كنت تحدثنا أنا سنأتي البيت فنطوف حقا قال : بلى ، أفأخبرتك أنك تأتيه العام قلت : لا . قال : فإنك آتيه ومطوف به ... .
تاريخ الإسلام ، الذهبي ، ج 2 ، ص 371 – 372 و صحيح ابن حبان ، ابن حبان ، ج 11 ، ص 224 و المصنف ، عبد الرزاق الصنعاني ، ج 5 ، ص 339 – 340 و المعجم الكبير ، الطبراني ، ج 20 ، ص 14 و تفسير الثعلبي ، الثعلبي ، ج 9 ، ص 60 و الدر المنثور ، جلال الدين السيوطي ، ج 6 ، ص 77 و تاريخ مدينة دمشق ، ابن عساكر ، ج 57 ، ص 229 و ... .
Maka ‘Umar berkata: Demi Allah, aku tidak syak sejak keIslamanku kecuali pada hari ini, maka aku datang kepada Rasulullah (s.a.w) dan bertanya: Wahai Rasulullah, tidakkah engkau Nabi Allah? Jawab baginda: Bahkan iya. Aku bertanya: Tidakkah kita di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan? Baginda menjawab: Bahkan iya. Umar berkata: Mengapakah kita menunjukkan kelemahan terhadap agama kita? Baginda menjawab: Sesungguhnya aku utusan Allah dan tidak menderhakai-Nya dan Dialah pembantuku. Umar bertanya: Tidakkah engkau berkata kita akan memasuki Makkah dan berṭawaf? Nabi bersabda: Apakah aku memberitahumu kita akan mengerjakannya pada tahun ini? Umar berkata: Tidak. Rasulullah bersabda: Engkau akan memasuki Makkah dan berṭawaf.
-Tārikh Al-Islām Ad-Dhahabī, jilid 2 halaman 372-371
- Sahīh Ibnu Ḥabbān, jilid 11 halaman 224
- Al-Muṣannaf, ʽAbdul Razzāq Al-Ṣunʽānī, jilid 5 halaman 339-340
- Mu’jam Al-Kabīr, Al-Ṭabrānī, jilid 20 halaman 14
- Tafsīr Al-Thaʽlabī, Al-Thaʽlabī, jilid 9 halaman 60
- Al-Durrul Manthur, Jalāluddīn Al-Suyūṭī, jilid 6 halaman 77
- At-Tārikh Madīnah Dimashqi, Ibnu ʽAsākir, jilid 57 halaman 229 dan banyak lagi…
Menarik perhatian di sini ʽUmar tidak yakin dengan kat-kata Rasulullah dan untuk ketenangan, beliau pergi kepada temannya Abu Bakar dan bertanya hal yang sama. Lebih menarik di sini Abu Bakar mengulangi jawapan Rasulullah (s.a.w).
Riwayat ini telah dinukilkan oleh Bukhārī dan Muslim, namun demi melindungi maruah ʽUmar, kata-kata « والله ما شككت منذ أسلمت إلا يومئذ » tidak dimasukkan dalam kisah perilaku khalifah ke-dua tersebut. Silakan anda merujuk Ṣaḥīḥ Al-Bukārī jilid 4 halaman 70, jilid 6 halaman 45 dan Ṣaḥīḥ Muslim jilid 5 halaman 175.
Sejarawan terkenal Ahlusunnah, Muhammad bun Umar al-Wāqidī menulis:
. . . فكان ابن عباس رضي اللّه عنه يقول : قال لي في خلافته ]يعني عمر[ وذكر القضية : إرتبت ارتياباً لم أرتبه منذ أسلمت إلا يومئذ ، ولو وجدت ذاك اليوم شيعة تخرج عنهم رغبة عن القضية لخرجت .
Ibnu ‘Abbas berkata: ʽUmar bin Al-Khattab di zaman kekhalifahannya terkenang peristiwa perjanjian Hudaibiyah dan berkata: Pada hari itu aku telah syak (kenabian Rasulullah), belum pernah aku syak demikian semenjak memasuki Islam. Andainya pada hari itu ada ditemui orang yang membuat keputusan untuk keluar dari perjanjian tersebut, maka aku pun turut akan keluar.
Wāqidī menambah dengan menukilkan riwayat daripada Abū Saʽid Al-Khudrī yang berkata kepada ʽUmar:
... والله لقد دخلني يومئذٍ من الشك حتى قلت في نفسي : لو كنا مائة رجلٍ على مثل رأيي ما دخلنا فيه أبداً ! .
كتاب المغازي ، الواقدي ، ج 1 ، ص 144 ، باب غزوة الحديبية ، المكتبة الشاملة ، الإصدار الثاني
Demi Allah, sesungguhnya betapa syak pada hari itu sehingga aku berkata kepada diriku: Andainya kita mempunyai seratus lelaki yang berpandangan sepertiku, kita tidak akan sekali-kali menyertai perjanjian tersebut. - Kitab Al-Maghāzī, Al-Wāqidī, jilid 1 halaman 144, software maktabah Al-Shamilah. Kitab ini dapat dirujuk dalam laman web: www.alwarraq.com
Apakah boleh dikatakan keredhaan Allah selama-lamanya untuk orang seperti ini? Bolehkah sesorang yang tidak beriman terhadap kenabian Rasulullah (s.a.w) dan mengesyaki kerasulan baginda dapat berada di dalam keredhaan Allah?.
Jawapan ke-tiga: Keredhaan ini tidak boleh dikatakan selama-lamanya atau abadi. Begitu juga tidak dijamin kebaikan seluruh orang yang hadir di dalam peristiwa ini kerana ayat tersebut hanya menyabitkan keredhaan Ilahi untuk orang yang memberi Baiʽat hanya pada ketika itu semata-mata, termasuk sebab dan keikhlasan mereka yang menyertai perjanjian dalam peristiwa itu.
Dengan kata yang lain, keredhaan ini akan kekal sehingga waktu tertentu sahaja sebagaimana pembaiʽatan dan perjanjian juga akan kekal sehingga ada terjadi perubahan di dalamnya. Ini disebabkan kewujudan Maʽlul tanpa ʽlal adalah mustahil.
Keredhaan Allah (s.w.t) kepada manusia hanyalah kerana amalan yang dilaksanakan semata-mata. Individu yang tidak beramal tidak akan diredhai oleh Tuhan iaitu selama ia mengerjakan amalan, ia akan diredhai. Tetapi ketika seseorang individu melakukan dosa, maka keredhaan ke atasnya juga akan turut luput.
Dalil paling baik untuk perkara ini ialah ayat tentang perjanjian tersebut:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلىَ نَفْسِهِ وَ مَنْ أَوْفىَ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا . الفتح / 10 .
Sesungguhnya orang-orang yang memberi pengakuan taat setia kepadamu (wahai Muhammad), mereka hanyasanya memberikan pengakuan taat setia kepada Allah; Allah mengawasi keadaan mereka memberikan taat setia itu (untuk membalasnya). Oleh itu, sesiapa yang tidak menyempurnakan janji setianya maka bahaya tidak menyempurnakan itu hanya menimpa dirinya; dan sesiapa yang menyempurnakan apa yang telah dijanjikannya kepada Allah, maka Allah akan memberi kepadanya pahala yang besar. – Surah Al-Fatḥ ayat 10.
Dalam ayat tersebut, Allah (s.w.t) secara jelas berfirman jikalau sesiapa yang mengingkari perjanjian dengan Allah (s.w.t), maka bahayanya adalah untuk diri sendiri. Allah akan memberikan ganjaran untuk orang yang tetap setia dengan perjanjian tersebut selama ia tidak berubah.
Oleh itu jelaslah ayat itu meliputi orang yang memberikan Baiʽat di hari tersebut sehingga ke akhir hayat selagi ia tetap berteguh dengan janji setianya. Katakanlah keredhaan ini adalah buat selama-lamanya, maka untuk apa Allah berfirman " فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ "? Apakah firman ini sia-sia belaka?
Perkara ini juga banyak terdapat di dalam riyawat-riyawa seperti yang dinukilkan oleh Malik bin Anas di dalam Al-Muwaṭṭa’:
عَنْ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِشُهَدَاءِ أُحُدٍ هَؤُلَاءِ أَشْهَدُ عَلَيْهِمْ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ أَلَسْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ بِإِخْوَانِهِمْ أَسْلَمْنَا كَمَا أَسْلَمُوا وَجَاهَدْنَا كَمَا جَاهَدُوا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلَى وَلَكِنْ لَا أَدْرِي مَا تُحْدِثُونَ بَعْدِي فَبَكَى أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ بَكَى ... .
Daripada Abi Nadr mawla Umar bin Ubaidillah bahawa Rasulullah (s.a.w) bersabda mengenai para Syuhada Uhud “Aku bersaksi untuk mereka”. Abu Bakar As-Ṣiddiq berkata “Wahai Rasulullah, Apakah kami bukan saudara-saudara mereka? Kami masuk Islam sebagaimana mereka masuk islam dan kami berjihad sebagaimana mereka berjihad”. Rasulullah (s.a.w) berkata “Ya, tapi Aku tidak tahu Apa yang akan kamu lakukan sepeninggalKu”. Abu Bakar menangis bersungguh-sungguh... - Hadis Dalam Al Muwatta Imam Malik Kitab Jihad Bab Para Syuhada di Jalan Allah hadis no 987
Hadis tersebut secara jelas menunjukkan akibat terhadap individu seperti Abu Bakar jikalau tidak taat dan beramal dengan syarat-syarat di dalam Bai’atnya di waktu akan datang, maka kemurkaan Allah akan menggantikan keredhaan-Nya.
Jawapan ke-empat: Sebahagian daripada sahabat yang menghadiri bai’at telah mengakui melanggar pembaiʽatan mereka seperti Barā’ bin ʽĀzib, Abū Saʽid Al-Khudrī dan ʽAisyah:
1) Barā’ bin ʽĀzib: Bukhārī di dalam Ṣaḥīḥnya menulis:
عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَقِيتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقُلْتُ طُوبَى لَكَ صَحِبْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَايَعْتَهُ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِي إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثْنَا بَعْدَهُ .
صحيح البخارى ، ج 5 ، ج65 ، ح 4170 كتاب المغازي باب غزوة الحديبية .
Daripada Al-ʽAlā’ bin Al-Musayyab, daripada ayahnya yang berkata: Aku bertemu dengan Al-Barā’ bin ʽĀzib RaḍiyaLlah ʽAnhumā dan berkata kepadanya:Bergembiralah engkau kerana bersama-sama Nabi dan memberi Baiʽat kepada baginda di bawah pohon. Maka beliau menjawab: Wahai anak saudaraku, sesungguhnya engkau tidak tahu bid’ah apa yang telah kami lakukan setelah kewafatan baginda.- Ṣaḥīḥ Al-Bukharī, jilid 5 halaman 65, hadis 4170
Barā’ bin ʽĀzib adalah salah seorang sahabat besar dan orang yang turut memberi Baiʽat di bawah pohon telah memberikan pengakuan bahawa beliau dan yang lainnya telah melakukan banyak bid’ah setelah kewafatan Rasulullah (s.a.w). Ini juga merupakan bukti yang jelas bahawa keredhaan Allah terhadap orang yang memberi Baiʽat di Hudaibiyah tidaklah kekal abadi selama-lamanya.
2) Pengakuan Abī Saʽid Al-Khudrī: Ibnu Ḥajar Al-ʽAsqalānī di dalam Al-Iṣābah menulis:
عن العلاء بن المسيب عن أبيه عن أبي سعيد قلنا له هنيئا لك برؤية رسول الله صلى الله عليه وسلم وصحبته قال إنك لا تدري ما أحدثنا بعده .
الإصابة ، ابن حجر ، ج 3 ، ص 67 و الكامل ، عبد الله بن عدي ، ج 3 ، ص 63 و ... .
Daripada Al-ʽAlā’ bin Al-Muasayyab, daripada ayahnya, daripada Abī Saʽīd menukilkan bahawa: Kami berkata kepada Abū Saʽīd: Alangkah baiknya engkau, kerana melihat Rasulullah dan berbicara bersama baginda. Abū Saʽīd berkata: Sesungguhnya engkau tidak tahu Bid’ah apa yang telah kami lakukan setelah kewafatan baginda.
3) ʽAisyah:
Dhahabī di dalam Siyar Aʽlam Al-Nubalā’ menulis:
عن قيس ، قال : قالت عائشة... إني أحدثت بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم حدثا ، ادفنوني مع أزواجه . فدفنت بالبقيع رضي الله عنها
سير أعلام النبلاء ، الذهبي ، ج 2 ، ص 193 و الطبقات الكبري ، محمد بن سعد ، ج 8 ، ص74 ، ترجمة عائشة ، والمصنّف ، ابن أبي شيبة الكوفي ، ج 8 ، ص708 و ...
Daripada Qays yang berkata: ʽAisyah berkata… Sesungguhnya aku telah lakukan bid’ah setelah kewafatan Rasulullah (s.a.w) sebenar-benar bidʽah, pusarakan aku bersama isteri-isteri baginda. Maka beliau dimakamkan di Baqī’ RaḍiyaLlahu ʽAnha – Siyar Aʽlam Al-Nubalā’, Al-Dhahabī, jilid 2 halaman 193.
Ḥakim Nisyaburī juga menukilkan riwayat seperti ini dan berkata:
هذا حديث صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه .
المستدرك على الصحيحين ، الحاكم ، ج 4 ، ص6 .
Hadis ini sahih atas syarat dua Shaykh (Bukhārī dan Muslim), mereka berdua tidak pernah mengeluarkannya. – Al-Mustadrak ʽAlā Al-Ṣaḥiḥayn jilid 4 halaman 6.
Dhahabī juga di dalam Talkhis Al-Mustadrak menegaskan pandangannya. Apakah dengan pengiktirafan para sahabat besar yang melakukan bid’ah setelah kewafatan baginda dapat dikatakan mendapat keredhaan Allah selama-lamanya?
Jawapan ke-lima: Sifat Allah teridir daripada Dhātī dan Fiʽlī. Sifat Dhātī adalah sifat Azālī dan Abadī, namun sifat Fiʽlī tidak seperti ini, bahkan tertakluk pada suatu zaman seperti yang dikatakan oleh Fakhrul Rāzī:
والفرق بين هذين النوعين من الصفات وجوه . أحدها : أن صفات الذات أزلية ، وصفات الفعل ليست كذلك . وثانيها : أن صفات الذات لا يمكن أن تصدق نقائضها في شيء من الأوقات ، وصفات الفعل ليست كذلك . وثالثها : أن صفات الفعل أمور نسبية يعتبر في تحققها صدور الآثار عن الفاعل ، وصفات الذات ليست كذلك .
تفسير الرازي ، الرازي ، ج 4 ، ص 75 .
Dan beza di antara kedua sifat Allah (Dhāt dan Fiʽl) ialah beberapa perkara: 1. Sifat Dhāt Azalī dan abadi, dan sifat Al-Fiʽl tidak seperti itu. 2. Sesungguhnya sifat Al-Dhāt tidak mungkin menepati pertentangannya terhadap sesuatu dalam waktu-waktu (contohnya jahil bertentnagan dengan ‘ālim); dan sifat Fiʽl tidak seperti itu. 3. Sesungguhnya sifat Fiʽl adalah perkara yang berhubung dengan kadangkala terjadi dengan kemunculan dalam suatu kesan daripada Fiʽl, namun sifat Dhāt tidak seperti ini (iaitu kekal abadi).
Oleh itu ketika Allah menyatakan keredhaan atau kemurkaan-Nya, ini bermakna pengurniaan pahala dan balasan. Oleh itu keredhaan dan kemurkaan Allah adalah sifat Fiʽl, bukan sifat Dhatī. Jikalau ianya dari sifat Fiʽl maka ia tidak akan berkekalan. Mengenai perkara ini Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī berkata:
ومعنى قوله ولا يرضى أي لا يشكره لهم ولا يثيبهم عليه فعلى هذا فهي صفة فعل .
فتح الباري ، ابن حجر ، ج 11 ، ص 350 .
Makna kata-kata « ولا يرضي » ialah tidak menghargai perbuatan yang dilakukan sekarang dan tidak diberi ganjaran. Inilah dia sifat Fiʽl – Fathul Bārī, ibnu Ḥajar, jilid 11 halaman 350
Kesimpulan:
Ayat ini tidaklah meliputi seluruh sahabat, bahkan ia hanya untuk orang beriman yang hadir dan setia pada perjanjian hingga ke akhir usianya.
Friday, 12 August 2011
Al Mahdi Khalifah Allah SWT
Al Mahdi Khalifah Allah SWT
Imam Mahdi adalah sosok yang sangat dimuliakan dan sangat dinanti-nanti oleh umat Islam. Terdapat berbagai kontroversi seputar Imam Mahdi dari yang menolak keberadaannya sampai klaim mengenai siapakah sebenarnya Imam Mahdi. Tulisan ini sayangnya bukan mau membahas mengenai kontroversi tersebut. Bagi kamikeberadaan dan datangnya Imam Mahdi adalah perkara hak yang telah dikabarkan melalui kabar-kabar shahih dan mutawatir. Tulisan ini akan membahas sebuah hadis tentang Al Mahdi yang menjadi korban kesinisan kaum salafiyun yaitu Hadis Al Mahdi Khalifah Allah. Salafiyun berkeras menyatakan dhaif hadis tersebut padahal kenyataannya hadis tersebut bersanad shahih.
Hadis tersebut salah satunya diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah2/1367 no 4084
حدثنا محمد بن يحيى وأحمد بن يوسف قالا حدثنا عبد الرزاق عن سفيان الثوري عن خالد الحذاء عن أبي قلابة عن أبي أسماء الرحبي عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( يقتيل عند كنزكم ثلاثة كلهم ابن خليفة . ثم لا يصير إلى واحد منهم . ثم نطلع الرايات السود من قبل المشرق . فيقتلونكم قتلا لم يقتله قوم ) ثم ذكر شيئا لا أحفظه . فقال ( فإذا رأيتموه فبايعوه ولو حبوا على الثلج . فإنه خليفة الله المهدي )
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya dan Ahmad bin Yusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq dari Sufyan Ats Tsawri dari Khalid Al Hidza’ dari Abi Qilabah dari Abi Asma’ Ar Rahabi dari Tsawban yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Akan berperang tiga orang di sisi perbendaharaan kalian, mereka bertiga adalah putera Khalifah. Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang berhasil menguasainya. Kemudian bendera-bendera hitam akan muncul dari arah Timur, maka mereka memerangi kalian dengan perang yang belum pernah dialami oleh kaum sebelum kalian. Kemudian Rasulullah SAW mengucapkan sesuatu yang aku tidak hafal. Beliau SAW kemudian bersabda “Maka siapa diantara kamu yang melihatnya, berikanlah baiat kepadanya walaupun dengan merangkak diatas salju karena sesungguhnya dia adalah Khalifah Allah Al Mahdi”.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak As Shahihain 4/510 no 8432, Dalail An Nubuwah Baihaqi hal 516, Bahr Az Zakhar Musnad Al Bazzar 10/100 no 4163
Hadis di atas adalah hadis yang shahih dan para perawinya tsiqat. Al Bushairi berkata dalam Az Zawaid 2/297 no 1450
هذا إسناد صحيح رجاله ثقات رواه الحاكم في المستدرك من طريق الحسين بن حفص عن سفيان به وقال هذا حديث صحيح على شرط الشيخين
Hadis ini sanadnya shahih dan para perawinya terpercaya. Diriwayatkan Al Hakim dalam Al Mustadrak dengan jalan Al Husain bin Hafsh dari Sufyan-dengan sanad seperti di atas- dan ia berkata “hadis shahih dengan syarat Bukhari Muslim”.
Selain Al Hafiz Al Bushairi hadis ini telah dishahihkan oleh banyak ulama di antaranya
- Al Hakim dalam Al Mustadrak 4/510 no 8432 berkata “hadis shahih sesuai syarat Bukhari Muslim”. Hal ini disepakati oleh Adz Dzahabi dalam At Talkhis.
- Al Bazzar dalam Bahru Az Zakhar Musnad Al Bazzar 10/100 no 4163 berkata“hadis ini sanadnya shahih”.
- Ibnu Katsir dalam An Nihayah Fi Fitan Wal Malahim 1/26 berkata “hadis ini kuat dan shahih”.
- Al Qurtubi dalam kitabnya At Tadzkirah Fi Ahwal Al Mawta 1/699 menyatakan bahwa hadis ini shahih.
- Syaikh Abdul Alim Abdul Azhim Al Bustawi dalam kitabnya Al Hadits Al Waridah Fil Mahdi Fi Mizanil Jarh Wat Ta’dil 1/184 menyatakan bahwa hadis ini shahih.
- Syaikh Mustafha Al Adawy dalam As Shahihul Musnad Min Ahadits Al Fitan Wal Malahim no 337 menyatakan hadis ini shahih.
Sungguh hal yang aneh sekali, Syaikh Al Albani memasukkan hadis ini dalam Dhaif Sunan Ibnu Majah no 4084 dan Silsilah Ahadits Ad Dhaifah no 85 seraya berkata
و هذه الزيادة خليفة الله ليس لها طريق ثابت , و لا ما يصلح أن يكون شاهدا لها , فهي منكرة
Dan tambahan “Khalifah Allah” tidaklah memiliki jalan yang tsabit dan shahih serta tidak memiliki syahid sehingga lafal tersebut munkar.
Tentu saja perkataan ini keliru. Hadis riwayat Tsauban di atas sangat jelas keshahihannya. Justru pencacatan Syaikh terkesan dicari-cari dan tidak berdasar. Syaikh mengatakan bahwa cacat hadis ini karena Abu Qilabah seorang mudallis dan riwayatnya di atas dengan ‘an ‘an ah. Pencacatan syaikh sangat jelas kekeliruannya bagi mereka yang paham dengan ilmu hadis.
- Mudallis memiliki banyak tingkatan dan tidak setiap mudallis dinyatakan dhaif hadisnya dengan lafal ‘an ‘an ah. Ibnu Hajar memasukkan Abu Qilabah dalamThabaqat Al Mudallisin no 15 artinya Abu Qilabah adalah mudallis tingkatan pertama. Mudallis tingkatan pertama adalah mudallis yang dijadikan hujjah hadisnya walaupun dengan lafal ‘an‘anah. Termasuk dalam kelompok pertama ini adalah Malik bin Anas, Yahya bin Said, Muhammad bin Ismail Al Bukhari dan Muslim bin Hajjaj. Mereka semua dijadikan hujjah ‘an ‘an ahnya.
- Syaikh Al Albani sendiri telah menyatakan shahih hadis ‘an ‘an ah Abu Qilabah dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no 1672 dan Irwa’ Al Ghalil 7/100 no 2035. Dalam Al Irwa’ syaikh menyebutkan takhrij hadis (tentang thalaq) dan semuanya berakhir pada ‘an ‘an ah Abu Qilabah. Di sini beliau tidak mendhaifkan hadis tersebut bahkan menyatakan hadis tersebut shahih.
Syaikh Al Albani juga menyatakan bahwa hadis tersebut munkar karena kata-kata Khalifah Allah menurut beliau bertentangan dengan syariat. Syaikh mengutip pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa Al Qubra 2/416
و قد ظن بعض القائلين الغالطين كابن عربي , أن الخليفة هو الخليفة عن الله , مثل نائب الله , و الله تعالى لا يجوز له خليفة , و لهذا قالوا لأبي بكر : يا خليفة الله ! فقال : لست بخليفة الله , و لكن خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم
Sungguh banyak orang mengira dengan salah seperti Ibnu Arabi bahwa yang dimaksud Khalifah adalah Khalifah Tuhan sebagai wakil Tuhan. Allah tidak memiliki wakil. Oleh karena itu ketika ada yang berkata kepada Abu Bakar “wahai Khalifah Allah” Ia berkata “Aku bukanlah Khalifah Allah
Pernyataan Ibnu Taimiyyah itu patut diberikan catatan. Tidak ada masalah jika dikatakan Allah SWT mempunyai wakil, tentu wakil dalam arti orang yang ditunjuk oleh Allah SWT untuk melaksanakan tugas seperti para Nabi atau orang yang dijadikan oleh Allah SWT sebagai Imam bagi manusia. Aneh sekali kalau Ibnu Taimiyyah atau Syaikh beranggapan bahwa satu-satunya arti Khalifah adalah Pengganti (Pengganti bagi mereka yang sudah tidak ada). Sehingga jika dikatakan khalifah Allah maka sama saja mengatakan Allah SWT telah digantikan dan ini batil. Pernyataan Khalifah Allah tidaklah semata-mata memiliki arti seperti itu. Perhatikanlah dengan baik, Orang yang mengucapkan kata-kata “Khalifah Allah”adalah Rasulullah SAW jadi sangat tidak mungkin kalau yang dimaksud Rasulullah SAW adalah tafsiran batil versi Ibnu Taimiyyah. Pengingkaran Ibnu Taimiyyah benar-benar sangat berlebihan sampai akhirnya ia berkata “Barang siapa yang menjadikan-Nya mempunyai Khalifah, orang itu berarti telah menyekutukanNya yakni musyrik”. Sungguh kami tidak mengerti bagaimana mungkin jika terbukti dengan sanad yang shahih bahwa Rasulullah SAW berkata “Al Mahdi Khalifah Allah”maka akan datang seorang ulama yang mengatakan perkataan itu sebagai suatu kesyirikan, naudzubillah.
Khalifah Allah yang dimaksud dalam hadis di atas adalah Khalifah yang ditunjuk, diangkat atau ditetapkan oleh Allah SWT dan jelas sekali Allah SWT berkuasa untuk itu. Al Mahdi adalah Khalifah bagi umat manusia yang diangkat dan ditetapkan oleh Allah SWT oleh karena itulah Imam Mahdi dikatakan sebagai Khalifah Allah. Bisa dimaklumi kalau seandainya Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Al Albani tidak pernah terpikirkan adanya tafsir seperti ini karena mungkin saja bagi mereka seorang Khalifah itu dipilih oleh manusia bukan diangkat oleh Allah SWT.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, kami akan menampilkan hadis lain tentang Al Mahdi Khalifah Allah yang diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak As Shahihain4/547 no 8351 dan Al Baihaqi dalam Dalail An Nubuwah hal 517 dengan sanad yang shahih, berikut riwayat Al Hakim
عن ثوبان رضى الله تعالى عنه قال إذا رأيتم الرايات السود خرجت من قبل خراسان فأتوها ولو حبوا فإن فيها خليفة الله المهدي هذا حديث صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه
Dari Tsauban RA yang berkata “Jika kalian melihat bendera hitam berkibar datang dari arah Khurasan maka datangilah walau dengan merangkak karena disana ada Khalifah Allah Al Mahdi”. Hadis ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim tetapi mereka tidak meriwayatkannya.
Keilmuan Imam Ali Di Atas Abu Bakar, Umar, Utsman Dan Semua Sahabat Nabi Yang Lain
Keilmuan Imam Ali Di Atas Abu Bakar, Umar, Utsman Dan Semua Sahabat Nabi Yang Lain
Imam Ali Alaihis Salam dikenal sebagai Pintu Kota Ilmu. Kedudukan Beliau dalam Ilmu melebihi semua sahabat Nabi yang lain termasuk ketiga khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman. Hanya para pendengki yang tidak rela kalau nama dan kedudukan Beliau melebihi semua sahabat Nabi yang lain. Imam Hasan bin Ali AS telah menegaskan kedudukan Imam Ali dalam salah satu khutbahnya sehari setelah meninggalnya Imam Ali AS.
Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad 1/199 no 1719
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن شريك عن أبي إسحاق عن هبيرة خطبنا الحسن بن على رضي الله عنه فقال لقد فارقكم رجل بالأمس لم يسبقه الأولون بعلم ولا يدركه الآخرون كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يبعثه بالراية جبريل عن يمينه وميكائيل عن شماله لا ينصرف حتى يفتح له
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Syarik dari Abi Ishaq dari Hubairah bahwa Hasan bin Ali berkhutbah kepada kami, Beliau berkata “Sungguh kemarin, seorang laki-laki telah meninggalkan kalian, dimana orang-orang terdahulu tidak dapat menandinginya dalam hal keilmuan dan orang-orang yang datang kemudian juga tidak dapat menyainginya. Rasulullah SAW telah mengutusnya untuk memegang bendera pasukan. Saat itu, Jibril berada di sebelah kanannya sedangkan Mika’il berada di sebelah kirinya. Dia tidak akan pulang hingga negeri (yang didatanginya) berhasil ditaklukan.
Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan dalam Musnad Ahmad 1/199 no 1720
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن إسرائيل عن أبي إسحاق عن عمرو بن حبشي قال خطبنا الحسن بن علي بعد قتل علي رضي الله عنهما فقال لقد فارقكم رجل بالأمس ما سبقه الأولون بعلم ولا أدركه الآخرون ان كان رسول الله صلى الله عليه و سلم ليبعثه ويعطيه الراية فلا ينصرف حتى يفتح له وما ترك من صفراء ولا بيضاء الا سبعمائة درهم من عطائه كان يرصدها لخادم لأهله
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Israil dari Abi Ishaq dari Amr bin Hubsy yang berkata “Hasan bin Ali berkhutbah kepada kami setelah terbunuhnya Ali RA, Beliau berkata “Sungguh kemarin, seorang laki-laki telah meninggalkan kalian, dimana orang-orang terdahulu tidak dapat menandinginya dalam hal keilmuan dan orang-orang yang datang kemudian tidak dapat menyainginya. Jika Rasulullah SAW mengutusnya dan menyerahkan bendera pasukan kepadanya maka dia tidak akan pulang hingga negri itu berhasil ditaklukan. Dia tidak meninggalkan uang kuning (dinar) dan uang putih (dirham) kecuali 700 dirham yang merupakan pemberian Rasulullah dan telah dia persiapkan untuk pembantu keluarganya.
Syaikh Ahmad Syakir dalam Syarh Musnad Ahmad no 1719 dan 1720 telah menyatakan kedua hadis di atas sebagai hadis shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Musnad Ahmad tahqiqnya menyatakan kedua hadis ini hasan. Hadis no 1720 juga disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Fadhail As Shahabah no 922 dan no 1013 dimana Syaikh Wasiullah bin Muhammad Abbas pentahqiq kitab Fadhail menyatakan bahwa kedua hadis tersebut shahih.
Hadis tersebut dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada satupun diantara semua sahabat Nabi yang lain dapat menandingi Ilmu Imam Ali bahkan tidak pula orang-orang yang datang kemudian. Hal ini merupakan bukti untuk kesekian kalinya bahwaImam Ali adalah Pintu Kota Ilmu dan kedudukannya di atas semua sahabat termasuk ketiga khalifah. Anehnya cukup banyak orang-orang yang pura-pura lupa atau memang tidak tahu, mereka tetap meragukan Imam Ali, memisahkan diri dari Beliau, berdiam diri dan tidak memihak Imam Ali bahkan ada yang memerangi Beliau. Mereka adalah para pembangkang dan cukuplah Allah SWT sebaik-baik Hakim bagi mereka.
Imam Hasan Dan Bani Umayyah Di Mimbar Nabi
Imam Hasan Dan Bani Umayyah Di Mimbar Nabi
Imam Hasan Alaihis Salam adalah cucu Rasulullah SAW yang sangat mulia. Sejarah hidupnya dipenuhi kemuliaan yang tidak dimengerti oleh sebagian orang yang mengaku pengikut Rasulullah SAW. Sebagian orang tersebut lebih suka mengikuti Muawiyah dan memerangi Imam Hasan AS. Bagaimana bisa kesucian cucu Rasul SAW dibandingkan dengan Muawiyah?. Ketika Rasul SAW mengatakanberpeganglah kepada Ithrah Ahlul Bait maka sebagian orang tersebut malah memisahkan diri dari Imam Hasan.
Tulisan kali ini akan membahas penyelewengan yang dilakukan sebagian orang yang ingin mendistorsi sejarah. Minimnya pengetahuan mereka membuat mereka menyebarkan klaim-klaim demi melindungi Muawiyah dan pengikutnya. Mereka mengatakan Imam Hasan menyerahkan kekhalifahan karena mengakui kredibilitas Muawiyah. Klaim yang sangat naïf, Imam Hasan mendamaikan kedua kelompok kaum muslimin karena Beliau AS tidak menyukai pertumpahan darah dan beliau mengetahui bahwa ketentuan Allah SWT pasti terjadi. Rasulullah SAW telah mengabarkan kepada Imam Hasan bahwa bani Umayyah akan menguasai mimbar Nabi walaupun Nabi SAW tidak menyukainya oleh karena itu bagi Imam Hasan AS lebih baik Beliau menyelamatkan banyak darah kaum muslimin karena ketentuan Allah SWT pasti terjadi. Hal inilah yang sukar atau tidak mungkin dipahami oleh para pecinta Muawiyah.
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi 5/444 no 3350
بسم الله الرحمن الرحيم حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود الطيالسي حدثنا القاسم بن الفضل الحداني عن يوسف بن سعد قال قام رجل إلى الحسن بن علي بعد ما بايع معاوية فقال سودت وجوه المؤمنين أو يا مسود وجوه المؤمنين فقال لا تؤنبني رحمك الله فإن النبي صلى الله عليه و سلم أري بني أمية على منبره فساءه ذلك فنزلت { إنا أعطيناك الكوثر } يا محمد يعني نهرا في الجنة ونزلت { إنا أنزلناه في ليلة القدر * وما أدراك ما ليلة القدر * ليلة القدر خير من ألف شهر } يملكها بنو أمية يا محمد قال القاسم فعددناها فإذا هي ألف يوم لا يزيد يوم ولا ينقص
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Daud Ath Thayalisi yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Qasim bin Fadhl Al Huddani dari Yusuf bin Sa’ad yang berkata “Seorang laki-laki datang kepada Imam Hasan setelah Muawiyah dibaiat. Ia berkata “Engkau telah mencoreng wajah kaum muslimin” atau ia berkata “Hai orang yang telah mencoreng wajah kaum mukminin”. Al Hasan berkata kepadanya “Janganlah mencelaKu, semoga Allah merahmatimu, karena Rasulullah SAW di dalam mimpi telah diperlihatkan kepada Beliau bahwa Bani Umayyah di atas Mimbar. Beliau tidak suka melihatnya dan turunlah ayat “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadaMu nikmat yang banyak”. Wahai Muhammad Al Kautsar adalah sungai di dalam surga. Kemudian turunlah ayat “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan . Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”. Bani Umayyah akan menguasainya wahai Muhammad. Al Qasim berkata “Kami menghitungnya ternyata jumlahnya genap seribu bulan tidak kurang dan tidak lebih”.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak As Shahihain 3/187 no 4796 dan beliau menshahihkannya dan diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Dalail An Nubuwah hal 510-511 semuanya dengan sanad yang berakhir pada Al Qasim bin Fadhl dari Yusuf bin Saad atau Yusuf bin Mazin Ar Rasibi.
.
.
.
Kedudukan Hadis
Hadis ini adalah hadis yang shahih dan telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqah. Tidak ada keraguan dalam sanad hadis ini kecuali mereka yang mencari-cari dalih untuk membela Bani Umayyah. Berikut perawi hadis tersebut
- Mahmud bin Ghailan. Ibnu Hajar menyebutkan dalam At Tahdzib juz 10 no 109 bahwa ia adalah perawi Bukhari Muslim, Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah. Disebutkan pula bahwa ia meriwayatkan hadis dari Abu Daud Ath Thayalisi dan dinyatakan tsiqat oleh Maslamah, Ibnu Hibban dan An Nasa’i. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/164 menyatakan ia tsiqat.
- Abu Daud At Thayalisi. Namanya adalah Sulaiman bin Daud, Ibnu Hajar menyebutkan dalam At Tahdzib juz 4 no 316 bahwa ia adalah perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Sulaiman bin Daud telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama diantaranya Amru bin Ali, An Nasa’i, Al Ajli, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad Al Khatib dan Al Fallas. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/384 menyatakan bahwa ia seorang hafiz yang tsiqat.
- Al Qasim bin Fadhl. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 8 no 596 dan ia adalah perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan. Al Qasim bin Fadhl meriwayatkan hadis dari Yusuf bin Sa’ad dan telah meriwayatkan darinya Abu Daud Ath Thayalisi. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama diantaranya Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu Ma’in, Ahmad, An Nasa’i, Ibnu Sa’ad, At Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin.Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/22 menyatakan ia tsiqat.
- Yusuf bin Sa’ad atau Yusuf bin Mazin Ar Rasibi. Ibnu Hajar dalam At Tahdzibjuz 11 no 707 menyebutkan bahwa ia adalah perawi Tirmidzi dan Nasa’i dan meriwayatkan hadis dari Imam Hasan. Ibnu Hajar juga mengatakan bahwaIbnu Main telah menyatakan ia tsiqat. Disebutkan dalam Su’alat Ibnu Junaid1/319-320 no 186 bahwa Ibnu Main telah menyatakan tsiqat pada Yusuf bin Sa’ad. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/344 menyatakan bahwa Yusuf bin Sa’ad Al Jumahi atau Yusuf bin Mazin tsiqat.
Sudah jelas hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat sehingga kedudukannya shahih tetapi dalih ternyata selalu bias dicari-cari. At Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzino 3350 setelah meriwayatkan hadis ini ia berkata
هذا حديث غريب لا نعرفه إلا من هذا الوجه من حديث القاسم بن الفضل وقد قيل عن القاسم بن الفضل عن يوسف بن مازن و القاسم بن الفضل الحداني هو ثقة وثقه يحيى بن سعيد و عبد الرحمن بن مهدي و يوسف بن سعد رجل مجهول ولا نعرف هذا الحديث على هذا اللفظ إلا من هذا الوجه
Hadis ini gharib, tidak dikenal kecuali dari hadis Al Qasim bin Fadhl dan dikatakan pula dari Qasim bin Fadhl dari Yusuf bin Mazin. Al Qasim bin Fadhl Al Huddani seorang perawi yang tsiqat, ia telah dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Sa’id dan Abdurrahman bin Mahdi. Sedangkan Yusuf bin Sa’ad adalah perawi yang majhul. Hadis dengan lafal di atas tidak diketahui kecuali dari jalur tersebut.
Pernyataan Tirmidzi bahwa Yusuf bin Sa’ad majhul adalah keliru. Yusuf bin Sa’ad telah dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma’in sebagaimana yang dikutip Ibnu Hajar dan telah meriwayatkan darinya banyak perawi tsiqah sehingga dalam At Taqrib Ibnu Hajar memberikan predikat tsiqat.
Syaikh Al Albani telah memasukkan hadis ini dalam Dhaif Sunan Tirmidzi no 3350 seraya berkata
ضعيف الإسناد مضطرب ومتنه منكر
Hadis dhaif sanadnya Mudhtharib dan matannya mungkar
Pernyataan Syaikh hanyalah mengikut apa yang disebutkan Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir 8/442, hadis ini dinyatakan mudhtharib karena diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir At Thabari 24/533 dengan sanad dari Qasim bin Fadhl dari Isa bin Mazin, oleh karena itu Ibnu Katsir menyebut sanad ini idhtirab. Pernyataan ini jelas kekeliruannya
- Isa bin Mazin tidak diketahui biografinya sehingga dalam hal ini sanad riwayat Ibnu Jarir adalah dhaif, bagaimana mungkin hadis bersanad dhaif menjadi penentu suatu hadis shahih sebagai mudhtharib
- Al Tirmidzi tidak menyendiri meriwayatkan hadis tersebut dari Yusuf bin Mazin, ia juga telah dikuatkan oleh Al Hakim dan Al Baihaqi sedangkan Ibnu Jarir menyendiri dalam menyebutkan Isa bin Mazin. Oleh karena itu jauh lebih mungkin untuk dikatakan bahwa Ibnu Jarir melakukan kekeliruan dalam menuliskan hadis tersebut.
Hadis tersebut tidak memenuhi syarat mudhtharib karena hadis yang dipermasalahkan Ibnu Katsir berstatus dhaif sehingga tidak dapat dipertentangkan dengan hadis Yusuf bin Mazin. Mengenai pernyataan matan yang mungkar, Ibnu Katsir dalam Tafsirnya telah mengkritik perkataan Al Qasim bin Fadhl “Kami menghitungnya ternyata jumlahnya genap seribu bulan tidak kurang dan tidak lebih”. Seandainyapun kritik Ibnu Katsir tersebut benar maka yang keliru adalah perkataan Qasim bin Fadhl bukan hadisnya. Aneh sekali, bagaimana mungkin dikatakan hadisnya mungkar hanya karena penafsiran Qasim terhadap hadis tersebut keliru. Dan seandainya pernyataan Qasim bin Fadhl benar maka tidak ada gunanya perkataan Ibnu Katsir bahwa hadis tersebut mungkar. Ataukah bagi Ibnu Katsir dan Al Albani menyebutkan keburukan Bani Umayyah adalah hal yang mungkar?. Sudah jelas itu cuma ulah yang dibuat-buat untuk menolak hadis tersebut demi melindungi Muawiyah dan Bani Umayyah.
Sahabat Anshar Yang Menyakiti Nabi SAW
Sahabat Anshar Yang Menyakiti Nabi SAW
Tidak ada yang meragukan kemuliaan sahabat Anshar tetapi tidak semua sahabat Anshar baik perilakunya. Di antara mereka ada yang pernah menyakiti Nabi SAW dengan kata-kata yang tidak pantas, tentu perilaku seperti ini tidak patut untuk diteladani.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad 1/453 no 4331
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا حماد بن سلمة قال أنا عاصم بن بهدلة عن أبي وائل عن بن مسعود قال تكلم رجل من الأنصار كلمة فيها موجدة على النبي صلى الله عليه و سلم فلم تقرني نفسي أن أخبرت بها النبي صلى الله عليه و سلم فلوددت اني افتديت منها بكل أهل ومال فقال قد آذوا موسى عليه الصلاة و السلام أكثر من ذلك فصبر ثم أخبر ان نبيا كذبه قومه وشجوه حين جاءهم بأمر الله فقال وهو يمسح الدم عن وجهه اللهم اغفر لقومي فإنهم لا يعلمون
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Affan yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ashim bin Bahdalah dari Abi Wail dari Ibnu Mas’ud yang berkata “Seorang laki-laki Anshar membicarakan sesuatu yang menyinggung Nabi SAW “. Aku merasa tidak tenang sebelum menceritakannya kepada Nabi SAW. Aku sungguh rela bila dapat menebus pembicaraan itu dengan seluruh keluarga dan hartaku. Beliau lalu bersabda “Mereka(Umat Musa) telah menyakiti Musa AS lebih dari itu tetapi dia tetap bersabar”. Beliau lalu menceritakan tentang seorang Nabi yang dianggap berbohong oleh masyarakat(kaum) nya. Mereka melukainya saat dia mendatangi mereka dengan membawa perintah Allah, Lalu dia berdoa sambil mengusap darah dari wajahnya “Ya Allah ampunilah kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui”.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq Musnad Ahmad no 4331 berkata
صحيح لغيره وهذا إسناد حسن
Shahih lighairihi dan sanad hadis ini hasan.
Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad no 4331 menyatakanbahwa hadis ini shahih. Apa sebenarnya yang dikatakan oleh sahabat Anshar tersebut sehingga begitu terasa berat bagi Ibnu Mas’ud?. Jika kita melihat respon Nabi SAW maka kita mengetahui bahwa sungguh perkataan sahabat Anshar tersebut telah menyakiti Nabi SAW. Dalam Musnad Ahmad 1/380 no 3608 disebutkan dengan jelas perkataan sahabat Anshar tersebut
Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad no 4331 menyatakanbahwa hadis ini shahih. Apa sebenarnya yang dikatakan oleh sahabat Anshar tersebut sehingga begitu terasa berat bagi Ibnu Mas’ud?. Jika kita melihat respon Nabi SAW maka kita mengetahui bahwa sungguh perkataan sahabat Anshar tersebut telah menyakiti Nabi SAW. Dalam Musnad Ahmad 1/380 no 3608 disebutkan dengan jelas perkataan sahabat Anshar tersebut
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو معاوية ثنا الأعمش عن شقيق عن عبد الله قال قسم رسول الله صلى الله عليه و سلم ذات يوم قسما قال فقال رجل من الأنصار إن هذه لقسمة ما أريد بها وجه الله عز و جل قال فقلت يا عدو الله أما لأخبرن رسول الله صلى الله عليه و سلم بما قلت قال فذكر ذلك للنبي عليه الصلاة و السلام فاحمر وجهه قال ثم قال رحمة الله على موسى لقد أوذي بأكثر من هذا فصبر
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Al’Amasy dari Syaqiq dari Abdullah yang berkata “Suatu hari Rasulullah SAW membagi-bagikan harta rampasan”. Ia berkata “Lalu seorang laki-laki dari kalangan Anshar berkata “Ini adalah pembagian yang tidak didasari mencari ridha Allah ‘azza wajalla”. Ia berkata “aku berkata ‘wahai musuh Allah sungguh akan aku ceritakan kepada Rasulullah SAW apa yang barusan kamu katakan”. Ia berkata “lalu disebutkan hal itu kepada Nabi SAW dan memerahlah wajah Beliau”. Ia berkata “kemudian Beliau bersabda”Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Musa, Ia telah disakiti lebih dari ini namun ia tetap bersabar”.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq Musnad Ahmad no 3608 berkata
إسناده صحيح على شرط الشيخين
Hadis ini sanadnya shahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim
Hadis ini juga dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Ahmad no 3608. Jelas sekali perkataan sahabat Anshar tersebut sangat tidak layak untuk dikatakan sampai-sampai Ibnu Mas’ud menyebut sahabat Anshar tersebut dengan sebutan “Musuh Allah”. Dan tidak diragukan lagi bahwa perkataan shahabat Anshar tersebut telah menyakiti Nabi SAW.
Hadis ini juga dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Ahmad no 3608. Jelas sekali perkataan sahabat Anshar tersebut sangat tidak layak untuk dikatakan sampai-sampai Ibnu Mas’ud menyebut sahabat Anshar tersebut dengan sebutan “Musuh Allah”. Dan tidak diragukan lagi bahwa perkataan shahabat Anshar tersebut telah menyakiti Nabi SAW.
Subscribe to:
Posts (Atom)