Friday 12 August 2011

Bantahan Terhadap Salafy : Benarkah Hadis “Apa Yang Aku dan SahabatKu Ada Di Atasnya” Berstatus Hasan Lighairihi?


Bantahan Terhadap Salafy : Benarkah Hadis “Apa Yang Aku dan SahabatKu Ada Di Atasnya” Berstatus Hasan Lighairihi?
Jika anda sering mengkaji kitab-kitab Salafy maka anda dapat melihat Antagonisme Salafy dalam berhadapan dengan hadis-hadis yang menjadi hujjah mereka. Jika hadis tersebut bertentangan dengan keyakinan mereka, contohnya berkenaan dengan tawassul (yang menjadi hujjah para ulama Alawy) atau keutamaan Ahlul Bait (yang sering menjadi hujjah Syiah) maka salafy akan bersikap ketat dalam mencacatkan hadis tersebut. Tetapi jika suatu hadis menjadi dasar hujjah mereka, maka mereka bertasahul dalam menguatkan hadis tersebut. Contoh nyata adalahhadis “Apa Yang Aku dan SahabatKu Ada Di Atasnya”. Telah berlalu penjelasan kami bahwa hadis ini berstatus dhaif tetapi salafy telah berupaya dengan “begitu memaksa” bahwa hadis ini berstatus hasan lighairihi. Berikut adalah bantahan kami.
.
.
Pembahasan Sanad Hadis Al Ifriqy Dan Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i
Pada dasarnya Salafy tidak membawakan sanad lain dari hadis “Apa Yang Aku dan SahabatKu Ada Di Atasnya”. Salafy hanya membawakan riwayat Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy dan Abdullah bin Sufyan, kemudian membuat kesimpulan bahwa kedua riwayat itu saling menguatkan sehingga berstatus hasan lighairihi.
Kesimpulan tersebut terburu-buru tetapi salafy dengan cerdik membungkusnya dengan kata-kata yang seolah-olah ilmiah tetapi mengandung kerancuan. Mengenai Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy ia adalah seorang yang dhaif dan kami tidak keberatan kalau dikatakan bahwa dhaifnya Abdurrahman disebabkan kelemahan pada hafalannya. Memang ada indikasi yang menunjukkan ke arah sana seperti
  • Adanya penta’dilan dari beberapa ulama terhadap Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy
  • Sebagian dari Jarh yang disematkan pada Abdurrahman bukan bersifat jarh yang menjatuhkan keadilan perawi seperti perkataan “tidak kuat”, “ada kelemahan padanya” atau “ada hal-hal yang diingkari dalam hadisnya”.
Walaupun begitu terdapat pula sebagian ulama yang menetapkan jarh yang bersifat syadid dan ada yang memberikan alasannya. Diantaranya adalah Imam Ahmad yang bahkan tidak mau menulis hadis darinyaIbnu Kharrasy yang menyatakan ia matrukAn Nasa’i yang menyatakan ia dhaif, dan Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam Al Majruhin no 586 sebagai perawi dhaif dan ia berkata

كان يروي الموضوعات عن الثقات

Ia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari perawi tsiqat.
Salafy mengatakan bahwa perkataan Ibnu Hibban berlebihan karena jika pernyataan Ibnu Hibban benar maka akan masyhur pernyataan ulama bahwa Abdurrahman seorang pendusta atau minimal tertuduh melakukan kedustaan. Logika seperti ini tidak mutlak benar karena ada kalanya para ulama memang berselisih paham terhadap kedudukan suatu perawi karena ulama yang satu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh ulama lain dan mungkin pula sebaliknya. Sehingga kaidah yang benar menyebutkan bahwa jarh yang bersifat mufassar (dijelaskan sebabnya) lebih diutamakan dibanding ta’dil. Melihat status Abdurrahman bin Ziyad, kita melihat ada ulama yang menyatakan ia matruk dan tidak mau menulis hadis darinya. Hal ini merupakan suatu kemungkinan bahwa para ulama tersebut pada dasarnya bersepakat dengan Ibnu Hibban yang mencacat Abdurrahman dengan cacat yang menjatuhkan. Kami pribadi tidak melihat adanya ulama yang membantah perkataan Ibnu Hibban dengan mengatakan bahwa Ibnu Hibban berlebih-lebihan dalam hal ini, bahkan Ibnu Jauzi memasukkan Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy dalam kitabnya Ad Dhu’afa Wal Matrukin 1670 dengan mengutip perkataan Ibnu Hibban.
Salafy juga mengutip pernyataan Ibnu Hajar dalam At Taqrib yang menyatakan bahwa Abdurrahman bin Ziyad orang yang lemah hafalannya. Itu adalah pendapat Ibnu Hajar sedangkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Bashar Awad Ma’ruf dalamTahrir Taqrib At Tahdzib no 3862 justru mengatakan kalau Abdurrahman bin Ziyad dhaif dan dapat dijadikan I’tibar. Dengan mempertimbangkan semua pernyataan di atas maka kami berkesimpulan bahwa pada dasarnya Abdurrahman bin Ziyad dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah tetapi hadisnya dapat dijadikan I’tibar dan menjadi naik statusnya jika dikuatkan oleh perawi yang setaraf dengannya atau lebih tinggi darinya.
Jadi agar hadis Abdurrahman bin Ziyad naik statusnya menjadi hasan lighairihi maka ia harus dikuatkan oleh perawi yang setingkat dengannya atau lebih baik darinya. Salafy hanya membawakan riwayat Abdullah bin Sufyan sebagai penguat Abdurrahman bin Ziyad. Tentu saja Abdullah bin Sufyan tidaklah setingkat dengan Abdurrahman disebabkan
  • Abdullah bin Sufyan hanya dikenal melalui hadis ini artinya yang meriwayatkan darinya hanya satu orang yaitu Wahab bin Baqiyah, jadi ia berstatus majhul ‘ain.
  • Tidak ada satupun Ulama yang memberikan predikat ta’dil padanya sehingga bagaimana bisa ditentukan ‘adalahnya (keadilannya)
  • Terdapat Ulama seperti Al Uqaili dan Adz Dzahabi yang memasukkannya ke dalam daftar perawi dhaif.
Bagaimana mungkin Salafy dengan mudahnya berkata
Jika kita perhatikan perkataan para ahli hadits di atas terhadap ‘Abdullah bin Sufyaan, maka kritik mereka disebabkan karena kebersendiriannya dalam periwayatan. Jenis kelemahan ini biasa disebabkan karena keraguan atas kekuatan hapalannya – dan ia merupakan kelemahan yang ringan.
Perkataan ini mengandung kerancuan. Kebersendirian Abdullah bin Sufyan dalam periwayatan dinyatakan dhaif karena tidak ada satupun ulama yang memberikan predikat ta’dil padanya (ditambah lagi hadisnya tidak diikuti) sehingga dalam hal ini kredibilitasnya tidak diakui. Ini saja sudah cukup untuk  mengatakan sebab pendhaifan Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i bukan karena kelemahan pada hafalannya. Bagaimana bisa salafy mengatakan bahwa cacat Abdullah bin Sufyan terletak pada hafalannya padahal tidak ada yang memberikan predikat ta’dil padanya. Jika pernyataan ini disebabkan ketidaksengajaan maka itu adalah kekeliruan atau kecerobohan dan jika dilakukan dengan sengaja maka itu adalah sebuah kedustaan. Kelemahan Abdullah bin Sufyan jelas lebih parah dibanding Al Ifriqy lantas bagaimana bisa ia menjadi penguat bagi Abdurrahman Al Ifriqy.
Salafy mengutip pernyataan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 1/448 no 899

رواه الطبراني في الصغير وفيه عبد الله بن سفيان قال العقيلي  لا يتابع على حديثه هذا وقد ذكره ابن حبان في الثقات

Diriwayatkan Thabrani dalam As Shaghir dan didalamnya ada Abdullah bin Sufyan. Al Uqaili berkata “hadisnya tidak diikuti” dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat.
Pernyataan Al Haitsami layak diberikan catatan. Pernyataannya yang mengutip Al Uqaili benar adanya dan memang itulah yang tertulis dalam kitab Ad Dhu’afa Al Uqaili2/262 no 815 tetapi kami tidak menemukan nama Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i dalam kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban. Bahkan diantara ulama yang menyebutkan tentang Abdullah bin Sufyan tidak ada satupun yang mengutip pentsiqahan Ibnu Hibban.
  • Adz Dzahabi baik dalam kitabnya Mizan Al I’tidal no 4356 , Mughni Ad Dhu’afano 3197 dan Diwan Ad Dhu’afa Al Matrukin no 2187 tidak menyebutkan adanya pentsiqahan dari Ibnu Hibban, Adz Dzahabi hanya mengutip pencacatan Al Uqaili.
  • Ibnu Hajar dalam Lisan Al Mizan juz 3 no 1230 juga menyebutkan tentang Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i, Ibnu Hajar mengutip pencacatan Al Uqaili tetapi tidak sedikitpun menyebutkan kalau Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
Kami berpandangan bahwa Al Haitsami keliru soal perkataannya bahwa Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i disebutkan dalam Ats Tsiqat Ibnu Hibban (kecuali kalau salafy memang menemukannya dalam Ats Tsiqat, karena tidak menutup kemungkinan bahwa kami bisa juga keliru) . Seandainya pula Ibnu Hibban memasukkan Abdullah bin Sufyan dalam Ats Tsiqat maka itu tidak akan menjadi hujjah apapun bagi Salafy karena sangat masyhur di kalangan salafy bahwa Tautsiq Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat tidak menjadi hujjah jika ia menyendiri karena menurut Salafy, Ibnu Hibban sering memasukkan perawi-perawi majhul dalam kitabnya Ats Tsiqat.
Kesimpulan dari kedua sanad tersebut adalah sanad dengan Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy adalah dhaif walaupun dikatakan karena hafalannya tetap saja hadisnya dhaif jika menyendiri alias tidak bisa dijadikan hujjah dan hanya bisa terangkat oleh perawi yang setingkat atau lebih baik darinya. Sedangkan sanad Abdullah bin Sufyan memiliki cacat yang lebih parah dari Al Ifriqy karena tidak ada satupun yang menta’dilkannya bahkan terdapat ulama yang memasukkannya sebagai perawi dhaif. Ditambah lagi jika kita menuruti cara kerja Salafy maka hadis Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i juga mengandung illat dugaan inqitha’ karena tidak ditemukan tahun lahir dan tahun wafatnya dalam biografi perawi dan tidaklah diketahui penyimakan hadisnya dari Yahya bin Sa’id Al Anshari, bukankah bagi salafy ini sebuah  cacat. Maka dari itu Pendapat yang benar adalah Sanad Abdullah bin Sufyan tidak menaikkan status hadis Al Ifriqy.
.
.
Pembahasan Matan Hadis Al Ifriqy
Salafy membawa hujjah lain untuk menguatkan hadis ini yaitu hadis Irbadh bin Sariyyah, Hadis “berpegang teguh pada SunahKu dan Sunnah Khulafaur Rasydin yang mendapat petunjuk”. Hadis ini memang shahih tetapi menjadikan hadis ini sebagai penguat bagi hadis Al Ifriqy adalah kesimpulan yang prematur. Mari kita lihat perkataan Salafy
Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
a. ‘Wajib atas kalian berpegang teguh terhadap Sunnahku’ (‘alaikum bi-sunnatii) adalah sama dengan ‘Apa-apa yang aku berada di atasnya’ (maa ana ‘alaihi);
b. ‘Dan sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk’ (wa sunnatil-Khulafaail-Mahdiyyiin Ar-Raasyidiin) adalah sama dengan ‘Dan para shahabatku’ (wa ashhaabiy).
Bagi mereka yang berpikir kritis maka poin b itu jelas sekali rancu. Apa dasarnya mengatakan bahwa Sunnah Khulafaail-Mahdiyyiin Ar-Raasyidiin yang dimaksud itu Para Sahabat?. Memangnya siapa Khulafaur Rasydin yang dimaksud dalam hadis Irbadh? Apakah itu adalah setiap sahabat Nabi? Atau hanya orang-orang tertentu. Jika memang khusus orang-orang tertentu maka mengapa dipukul rata untuk semua sahabat. Kemudian Apakah itu adalah Khalifah Abu Bakar RA, Umar RA dan Utsman RA?. Bagaimana bisa dikatakan bahwa sunnah mereka harus dipegang teguh jika sebagian perilaku mereka bertentangan dengan Sunah Nabi?. Contoh yang mudah adalah pelarangan haji tamattu yang justru dibolehkan secara mutlak oleh Rasulullah SAW. Perkara ini saja sudah cukup untuk mengugurkan bahwa sunah mereka tidak layak dipegang teguh.
Lagipula terlalu jauh menjadikan hadis Irbadh sebagai penguat. Itu namanya mencampuraduk umum dan khusus. Apakah para Sahabat itu semuanya menjadi khalifah?. Rasanya tidak, seandainya juga ada sahabat yang menjadi khalifah itu tidak membuatnya langsung dikatakan sebagai bagian dari Khulafaail-Mahdiyyiin Ar-Raasyidiin. Hal ini disebabkan sangat jelas bahwa sahabat yang menjadi khalifah itu sendiri sering menyatakan hal yang berbeda dan bertentangan satu sama lain. Jadi bagaimana mungkin berpegang pada hal-hal yang bertentangan.
Lafaz Hadis Al Ifriqy sudah jelas tidak bisa diterima. Para sahabat bukanlah hujjah dan kenyataannya terkadang para sahabat juga berselisih, melakukan kesalahan, yang bahkan ada diantara kesalahan tersebut berbau maksiat seperti meminum khamar, berzina, membunuh, mencaci Ahlul Bait dan lain-lain. Dan kita tidak melupakan sejarah para sahabat dimana mereka berselisih sampai menyulut terjadinya perperangan. Semua fakta ini menunjukkan bahwa para sahabat bukanlah timbangan kebenaran dan justru perbuatan sahabat itu yang harus ditimbang dengan timbangan kebenaran yaitu Allah SWT dan RasulNya.
Keanehan Salafy yang lain adalah perkataan
Dan ini sama sekali tidak bertentangan dengan makna Al-Jama’ah sebagaimana dalam riwayat yang lain. Sebab, al-jama’ah yang pertama kali ada saat hadits ini diucapkan adalah jama’ah para shahabat radliyallaahu ‘anhum ajma’in.
Boleh-boleh saja kalau salafy mengatakan tidak bertentangan tetapi apa dasarnya bahwa Al Jama’ah itu para sahabat. Anehnya salafy seperti pura-pura tidak tahu bahwa hadis tersebut justru diucapkan dihadapan para sahabat dan untuk sahabat juga. Jika Al Jama’ah yang dimaksud adalah para sahabat bukankah jauh lebih tepat kalau redaksinya “Apa Yang Aku dan Kalian Ada Di Atasnya”. Jika Al Jama’ah yang dimaksud adalah para sahabat maka patutlah kita bertanya apakah pada zaman sahabat sudah terdapat 73 firqah yang dimaksud?. Jika ada dan yang selamat adalah Al Jama’ah yaitu para sahabat maka ini mengandung kontradiksi. Karena jika Para sahabat itu Al Jama’ah yang dimaksud maka bagaimana mungkin bisa ada firqah-firqah diantara sahabat, lha sahabat itu sendiri Al Jama’ah yang dimaksud. Jika firqah yang dimaksud akan ada sampai akhir zaman maka tidak ada alasan bagi salafy untuk mengkhususkan Al Jama’ah pada para Sahabat Nabi, bisa saja Al Jama’ah yang dimaksud juga berasal dari kalangan Umat Islam yang bukan Sahabat Nabi. Sungguh berkutat dalam pemaksaan seperti ini hanya membuahkan asumsi-asumsi yang membutuhkan banyak bukti. Bagi kami Pernyataan yang lebih bernilai soal Al Jama’ah telah disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa Al Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun sendirian.
Mengenai perkataan salafy bahwa Sahabat adalah generasi yang terbaik maka cukuplah dikatakan bahwa ada pula Mereka yang lebih baik dari Sahabat Nabi. Hal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan beliau menshahihkannya

أبو جمعة قال تغدينا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ومعنا أبو عبيدة بن الجراح قال فقال يا رسول الله هل أحد خير منا اسلمنا معك وجاهدنا معك قال نعم قوم يكونون من بعدكم يؤمنون بي ولم يروني

Dari Abu Jum’ah RA yang berkata “Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah SAW dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah RA yang berkata “Wahai Rasulullah SAW adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau. Beliau SAW menjawab “Ya, ada yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaKu padahal mereka tidak melihat Aku”
Kalau mengikuti cara berhujjah salafy maka bukankah bisa juga dikatakan kalau Al Jama’ah itu adalah mereka Umat Islam yang beriman kepada Nabi SAW tetapi tidak bertemu Nabi SAW dengan kata lain bukan Sahabat Nabi. Lha mereka bahkan lebih baik dari Sahabat Nabi SAW berdasarkan hadis di atas.
Terakhir masalah penukilan pendapat ulama seperti Al Iraqi, Ibnu Katsir dan Al Albani yang telah menghasankan hadis Al Ifriqy, semua itu adalah sikap tasahul yang tidak berpegang pada dalil atau hanya cenderung pada keyakinan semata. Telah berlalu penjelasan kami atas dhaifnya sanad hadis tersebut. Pernyataan Hasan mereka bisa jadi dikarenakan
  • Mereka menjadikan hadis Iftiraq Al Ummah yang lain sebagai penguat yang mengangkat hadis Al Ifriqy. Sudah jelas ini keliru karena lafaz yang kita permasalahkan (Apa yang Aku dan Para SahabatKu Ada Di Atasnya) tidak ada pada riwayat Iftiraq Al Ummah yang bersanad shahih.
  • Mereka menganggap hadis Al Ifriqy dan hadis Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i sebagai saling menguatkan sehingga statusnya menjadi hasan lighairihi. Telah kami tunjukkan bahwa hal ini keliru, hadis Abdullah bin Sufyan kedhaifannya lebih parah dari Al Ifriqy sehingga jelas tidak bisa menguatkannya.
Karena mereka meyakininya maka mereka memudahkan dalam menguatkan hadis tersebut. Anehnya jika ada hadis lain yang mengecam sahabat tak peduli sekuat apapun sanadnya atau sebanyak apapun sanadnya tetap harus ditolak dan dinyatakan palsu. Sungguh Antagonisme yang aneh. Tulisan berikutnya mungkin akan membahas salah satu hadis yang sering dinyatakan palsu padahal sanadnya jauh lebih kuat dari sanad hadis “Apa Yang Aku dan Para SahabatKu ada di Atasnya”. Mari kita lihat akankah Salafy menyatakan hadis tersebut hasan lighairihiatau malah bersemangat menyatakan hadis tersebut palsu.

No comments:

Post a Comment