Abu Bakar Tidak Pernah Meminta Maaf Pada Sayyidah Fatimah AS
Sepertinya kisah Fadak ini masih terus berlanjut untuk dibahas. Kali ini sang penulis yang merasa tahu banyak soal Syiah itu telah membuat tulisan baru. Akhirnya Fatimah Memaafkan Abu Bakar. Sayangnya metode penulisan tetap saja tidak berubah. Beliau tetap berpegang pada riwayat-riwayat yang tidak shahih atau dipertanyakan keshahihannya. Seandainya anda tidak merasa bosan maka kali ini saya kembali akan meluruskan tulisan beliau dalam Situsnya itu.
Seperti biasa sang penulis menyatakan kesimpulan di bait pertama tulisannya
Fatimah saja mau memaafkan Abubakar tanpa mensyaratkan pengalihan hak tanah fadak pada dirinya, tapi pada hari ini, setelah 14 abad dari peristiwa itu, masih banyak yang mendendam pada Abubakar.
Kesimpulan ini keliru karena tidak ada kabar shahih yang meriwayatkan bahwa Abu Bakar meminta maaf kepada Sayyidah Fatimah AS pasca peristiwa Fadak. Kabar shahih yang ada justru kesaksian Aisyah RA bahwa Sayyidah Fatimah AS tidak pernah berbicara kepada Abu Bakar sampai akhir hayatnya pasca peristiwa Fadak.
Terkadang orang lain membuat kita begitu marah, sehingga dalam hati kita timbul dendam dan ingin melampiaskan dendam itu secepatnya. Bisa jadi dendam itu begitu merasuk sehingga kita tidak bisa menahan emosi ketika melihat orang tadi.
Oleh karena itu kesabaran dan meminta maaf adalah obat yang sangat baik
Kejadian di atas menimpa sahabat Abubakar, ketika beberapa orang menuduh Aisyah anaknya –yang juga istri Rasulullah- telah berzina, dan salah satu yang menuduh adalah Misthah bin Utsatsah, salah seorang sepupu Abubakar yang miskin dan hidup dari pemberian Abubakar. Ketika itu Abubakar bersumpah untuk tidak memberikan uang lagi pada Misthah. Hal ini wajar dilakukan oleh manusia biasa, yang hatinya terluka ketika Misthah –yang hidup dari uang pemberian Abubakar- ikut-ikutan menuduh Aisyah berzina. Namun Allah sang Maha Pengasih, ingin memberikan pelajaran bagi kaum muslimin tentang akhlak yang mulia, yaitu pemaaf. Lalu turunlah ayat ini menghibur Abubakar, bahwa orang pemaaf akan dimaafkan oleh Allah. Akhirnya Abubakar tetap memberikan nafkah pada sepupunya tadi, karena mengharap ampunan dari Allah.
Sebuah pelajaran dari kisah ini adalah terkadang sahabat-sahabat Nabi(terlepas dari keutamaan Mereka) adalah manusia yang dipengaruhi kecenderungannya sehingga bisa melakukan suatu kekeliruan. Contoh di atas cukup jelas dimana ada beberapa sahabat Nabi yang ikut-ikutan dengan kaum munafik menyebarkan tuduhan terhadap Aisyah RA. Walaupun begitu Akhlak yang ditunjukkan oleh Abu Bakar RA jelas merupakan contoh yang patut di teladani.
Salah satu kisah yang sering diulang-ulang oleh kaum syi’ah –yang ingin membuat black campaign kepada Abubakar – adalah kisah fadak.
Syiah mengulang-ngulang Kisah ini karena kisah ini dalam persepsi mereka adalah bentuk kezaliman terhadap Ahlul Bait. Kebanyakan pihak Sunni justru melah membenarkan apa yang dilakukan Abu Bakar RA. Hal ini yang membuat Syiah mengulang-ngulang pembelaan mereka kepada Ahlul Bait.
Tetapi kita tidak pernah mendengar ustadz syi’ah mengisahkan ending kisah ini, seakan-akan kisah ini hanya berakhir dengan Fatimah yang pulang ke rumahnya dan marah, selesai sampai di sini.
Kabar yang shahih telah jelas menyatakan bahwa Sayyidah Fatimah AS marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar selama 6 bulan. Dan itu saya dengar bukan dari ustad Syiah tetapi dari Kitab Shahih Bukhari.
Ternyata masih ada babak episode yang dipotong dan ending dari kisah fadak, tetapi entah mengapa ustadz syi’ah tidak pernah membahasnya.
Mungkin Ustad Syiah itu cukup pintar untuk tidak membahas kisah-kisah yang dhaif, tidak shahih atau dipertanyakan keshahihannya. Entahlah, saya tidak tahu pasti apa sebenarnya yang dipahami oleh Ustad-ustad Syiah.
Yang jelas kitab syi’ah sendiri memuat ending dari kisah fadak ini, yaitu dalam kitab Syarah Nahjul Balaghah yang ditulis oleh Ibnu Abil Hadid pada jilid 1 hal 57, dan Ibnu Al Maitsham pada jilid 5 hal 507, disebutkan :
Saat Fatimah marah Abubakar menemuinya di lain waktu dan memintakan maaf bagi Umar, lalu Fatimah memaafkannya.
Mari kita mengkritisi bagian ini. Apa buktinya kalau Kitab Syarh Nahjul Balaghah Ibnu Abil Hadid adalah kitab Syiah?. Memang kitab Nahjul Balaghah ditulis oleh Ulama Syiah tapi kitab Syarh Nahjul Balaghah ditulis oleh Ibnu Abil Hadid. Apa buktinya Ibnu Abil Hadid seorang Syiah?. Sejauh yang saya tahu bukti jelas menyatakan bahwa beliau seorang Ulama Mu’tazilah. Apakah anda wahai penulis pernah melihat bahwa Ulama-ulama Syiah menyatakan kesyiahan Ibnu Abil Hadid? Berhentilah membuat tuduhan
Kemudian, Apakah kitab Syarh Nahjul Balaghah adalah kitab dimana penulisnya menyatakan bahwa semua apa yang ia tulis adalah Shahih?. Setahu saya tidak ada bukti yang menunjukkan kalau Ibnu Abil Hadid menyatakan bahwa Semua riwayat yang ia kutip sebagai shahih. Oleh karena itu riwayat yang anda bawa itu perlu diteliti keshahihannya apalagi dalam Kitab Nahjul Balaghah yang ditulis Ulama Syiah tidak ada riwayat yang anda sebutkan itu. Riwayat itu(kalau memang ada) ditambahkan oleh mereka para Pensyarh Kitab Nahjul Balaghah.
Kemudian, bagaimana kita meneliti keshahihan riwayat tersebut jika anda wahai penulis tidak mencantumkan sanadnya? Atau riwayat tersebut memang tidak bersanad. Kalau begitu riwayat ini masih dipertanyakan keshahihannya. Nah bagaimana bisa anda berpegang pada riwayat yang belum pasti kebenarannya apalagi kalau riwayat tersebut ternyata bertentangan dengan riwayat yang jelas-jelas shahih.
Fatimah dengan besar hati memaafkan Abubakar, yang telah melaksanakan perintah Rasulullah untuk tidak mewariskan harta peninggalannya pada ahli waris. Abubakar juga tidak menyerahkan fadak kepada Fatimah agar mau memaafkannya, tetapi di sini Fatimah juga tidak menuntut penyerahan tanah fadak sebagai syarat untuk mau memaafkan Abubakar dan Umar. Itulah akhlak putri Nabi yang sejak dini dididik untuk mencintai akherat dan membenci dunia yang fana. Inilah salah satu akhlak kenabian diwarisi Fatimah dari sang ayah.
Akhlak Sayyidah Fatimah AS tidak diragukan lagi adalah akhlak yang mulia seperti yang diajarkan baginda Rasulullah SAW. Sayangnya tidak ada riwayat shahih yang menyatakan kalau Abu Bakar meminta maaf pada Sayyidah Fatimah AS.
Sudah selayaknya kita meniru teladan dari kisah di atas, tidak membawa dendam dalam hati untuk waktu yang lama. Semua yang telah berlalu hendaknya kita maafkan, demi mengharap keridhoan dan ampunan Allah. Siapa yang tidak menginginkan ampunan Allah?
Berhentilah bersikap seolah-olah semua yang anda sampaikan itu benar. Dalam kisah Fadak tidak ada unsur dendam kesumat dan cinta harta dunia yang fana. Perselisihan ini soal kebenaran yang diyakini oleh masing-masing pihak. Sayyidah Fatimah AS adalah sang pedoman bagi manusia sebagaimana yang ditetapkan Rasulullah SAW dalam Hadis Tsaqalain oleh karena itu sikap beliau menandakan penentangannya terhadap apa yang dinyatakan Abu Bakar. Mungkin bagi anda sulit sekali memahami perselisihan ini karena anda dan para Salafy lainnya(maaf kalau saya salah) tidak pernah mau menerima Sabda Rasulullah SAW dalam Hadis Tsaqalain bahwa Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat Islam.
Riwayat di atas menguatkan riwayat dari Sunan Baihaqi yang kami nukilkan di salah satu makalah situs ini.
Riwayat Ibnu Abil Hadid yang dipertanyakan keshahihannya menjadi penguat bagi riwayat Baihaqi yang sudah jelas dhaif atau tidak shahih. Sungguh metode yang benar-benar hebat bagi seorang Salafy.
Namun ada penjelasan yang dirasa perlu untuk disampaikan.
Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari Sya’bi ia berkata: Tatkala Fatimah sakit, Abu Bakar menengok dan meminta izin kepadanya, Ali berkata: “Wahai Fatimah ini Abu Bakar minta izin.” Fatimah berkata: “Apakah kau setuju aku mengijinkan ?”, Ali berkata: “Ya.” Maka Fatimah mengijinkan, maka Abu Bakar masuk dan Fatimah memaafkan Abu Bakar. Abu Bakar berkata: “Demi Allah saya tidak pernah meninggalkan harta, rumah, keluarga, kerabat kecuali semata-mata karena mencari ridha Allah, Rasulnya dan kalian keluarga Nabi.
Ibnu Katsir berkata: Ini suatu sanad yang kuat dan baik yang jelas Amir mendengarnya dari Ali atau seseorang yang mendengarnya dari Ali. (Al Bidayah Wannihaayah 5/252)
Saya sudah pernah membahas tuntas riwayat ini dalam tulisan Penyimpangan Kisah Fadak Oleh Hakekat.com. Silakan lihat sekali lagi
Ibnu Hajar mengutip dari Ad Daruquthni bahwa Sya’bi hanya meriwayatkan sebuah hadits dari Ali, hadits itu tercantum dalam shahih Bukhari. Sehingga terkesan bahwa riwayat di atas adalah putus sanadnya karena Sya’bi hanya meriwayatkan sebuah hadits dari Ali. Lalu bagaimana status riwayat ini? Jelas riwayat ini mursal, tetapi riwayat mursal memiliki banyak tingkatan, ini dijelaskan dalam kitab biografi perawi.
Sudah saya nyatakan sebelumnya bahwa riwayat As Sya’bi dari Ali adalah mursal khafi karena seperti yang dinyatakan Daruquthni, Asy Sya’bi hanya meriwayatkan satu hadis dari Ali dalam Shahih Bukhari. Sedangkan riwayat yang dinyatakan Ibnu Katsir itu bukan riwayat dalam Shahih Bukhari. Jadi sudah jelas riwayat tersebut mursal. Hadis mursal adalah dhaif kecuali ada hadis lain dengan sanad yang shahih dan muttasil yang menguatkan riwayat mursal tersebut. Dalam kitab Muqaddimah Ibnu Shalah dapat dilihat bahwa salah satu syarat hadis shahih adalah bersambung sanadnya.
Kita bisa memahami jika orang awam yang belum memperdalam ilmu hadits mempertanyakan riwayat ini.
Begitukah? Apakah orang awam yang belum memperdalam ilmu hadis bisa mempertanyakan riwayat Baihaqi. Bagaimana bisa orang awam tahu kalau riwayat Baihaqi adalah mursal kecuali ia pernah membaca kitab biografi perawi hadis yang menyebutkan kalau Asy Sya’bi lahir jauh setelah Sayyidah Fatimah AS dan Abu Bakar wafat. Bagaimana bisa orang awam tahu kalau riwayat Asy Sya’bi dari Ali adalah mursal khafi kecuali ia mempelajari ini dari kitab Musthalah hadis atau membaca Kitab Al Illal Daruquthni atau membaca Fath Al Bari. Justru orang awam lah yang akan terkelabui oleh pengandaian Ibnu Katsir yang berkata Ini suatu sanad yang kuat dan baik yang jelas Amir mendengarnya dari Ali atau seseorang yang mendengarnya dari Ali
Tapi mestinya dia melihat bagaimana Ibnu Katsir memberi dua kemungkinan, bisa jadi dia mendengar dari Ali atau mendengar dari orang yang mendengar dari Ali, karena Ibnu Katsir menyadari penjelasan ulama bahwa Sya’bi hanya meriwayatkan satu hadits dari Ali bin Abi Thalib.
Dan mestinya anda melihat wahai penulis dengan tingkat kelimuan anda bahwa kedua kemungkinan Ibnu Katsir itu adalah dhaif. Lihat baik-baik
- Kemungkinan Pertama Asy Sya’bi mendengar dari Ali, sudah jelas mursal khafi sebagaimana yang anda kutip dari Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari. Hadis mursal sudah jelas dhaif kecuali ada hadis lain yang muttasil shahih yang menguatkan riwayat mursal tersebut.
- Kemungkinan kedua Asy Sya’bi mendengar dari orang yang mendengar dari Ali. Bagaimana mungkin anda menyetujui Ibnu Katsir kalau sanad seperti ini kuat. Sanad seperti ini sudah jelas dhaif karena tidak diketahui siapa perawi yang mendengar dari Ali dan menyampaikan kepada Asy Sya’bi. Bukankah bisa jadi perawi tersebut adalah perawi yang dhaif.
Kemudian sang penulis tersebut malah berkata
Ibnu Katsir – yang tentunya lebih mengerti hadits dari kita-kita yang awam- mengatakan sanad ini kuat dan bagus, karena Ibnu Katsir telah mempelajari status riwayat Sya’bi dari kitab biografi perawi hadits. Tidak ada salahnya kita yang awam ini membaca langsung terjemahan nukilan dari kitab biografi perawi, agar mendapat gambaran lebih jelas tentang status riwayat dari Sya’bi – yang nama lengkapnya adalah Amir bin Syurahil As Sya’bi-:
Setelah saya mempelajari ini, saya pun terheran-heran dengan Ibnu Katsir yang tentunya lebih mengerti masalah hadis tetapi justru menyatakan sanad yang dhaif sebagai sanad yang kuat. Sepertinya dalam pembahasan yang berkaitan dengan sentimen mahzab telah mempengaruhi seorang Ulama dalam mengambil keputusan. Baik mari kita lihat apa yang akan anda sampaikan wahai penulis
Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan ulama lain mengatakan bahwa Sya’bi adalah tsiqah, Al Ijli mengatakan bahwa Sya’bi meriwayatkan hadits dari empat puluh delapan sahabat, dia lebih tua dari Abu Ishaq dua tahun, dan Abu Ishaq lebih tua dua tahun dari Abdul Malik, dia tidak memursalkan hadits kecuali hampir seluruhnya adalah shahih
Tahdzibut Tahdzib jilid 5 hal 59
Beliau Asy Sya’bi adalah tabiin yang tsiqah. Hal ini sangat jelas dalam Kitab Rijal Hadis. Tetapi permasalahannya bukan terletak pada kredibilitas Asy Sya’bi, jadi anda membuang-buang waktu menuliskan berbagai predikat tsiqat pada Asy Sya’bi.
Pernyataan Al Ajli cukup relevan untuk dibahas. Seperti yang anda kutip Al Ajli mengatakan bahwa hampir seluruh mursal Asy Sya’bi adalah shahih. Apakah dengan begitu anda memahami bahwa hadis apapun jika Asy Sya’bi berkata Rasulullah SAW bersabda, maka hadis tersebut adalah shahih dengan kesaksian Al Ajli. Kalau iya maka anda benar-benar naif. Seorang Ulama berkata bahwa hadis seseorang yang mursal itu shahih karena dari hadis-hadis mursal yang diriwayatkan orang tersebut ternyata dibenarkan oleh hadis-hadis lain yang shahih dan sanadnya bersambung. Oleh karena itu Ulama tersebut menerima hujjah mursal seseorang.
Al Ajli bisa jadi mengetahui banyak riwayat mursal Asy Sya’bi dan ternyata setelah ia pelajari ada banyak riwayat shahih lain yang membuktikan kebenaran riwayat mursal Asy Sya’bi. Hal ini mungkin cukup bagi Al Ajli untuk menyatakan hampir seluruh mursal Asy Sya’bi adalah shahih. Tetapi adalah tidak benar menyatakan keshahihan hadis hanya karena Asy Sya’bi yang meriwayatkannya. Hal ini bertentangan dengan kaidah jumhur dalam menetapkan keshahihan hadis seperti yang tertera dalamMuqaddimah Ibnu Shalah.
Hadis shahih adalah Hadis yang muttashil (bersambung sanadnya) disampaikan oleh setiap perawi yang adil(terpercaya) lagi dhabit sampai akhir sanadnya dan hadis itu harus bebas dari syadz dan Illat.
Dalam hal ini pernyataan Al Ajli adalah pernyataan yang harus dibuktikan kebenarannya dengan cara melihat semua riwayat mursal Asy Sya’bi dan mencari syawahidnya dari hadis shahih lain yang bersambung sanadnya. Karena bisa jadi Al Ajli tidak mengetahui ada riwayat mursal Asy Sya’bi yang tidak memiliki syawahid dari hadis shahih lain.
Dengan dasar ini maka saya kembalikan permasalahan ini kepada anda wahai penulis, apakah ada riwayat shahih lain yang mendukung atau menguatkan kebenaran riwayat mursal Asy Sya’bi dalam Sunan Baihaqi yang anda kutip?. Sejauh penelitian saya tidak ada, tetapi mungkin anda lebih tahu dan saya yang awam ini mohon diberikan wejangan
Pada halaman yang sama Ibnu Hajar menukil ucapan Al Ajurri dari Abu Dawud: mursal dari Sya’bi lebih aku sukai daripada mursal Nakha’i.
Siapapun berhak suka atau tidak suka tetapi itu tidak menjadi sebuah ketetapan bahwa mursal Asy Sya’bi sudah pasti shahih. Kembali pada Buktikan maka saya percaya.
Ditambah lagi dengan riwayat dari Syarah Nahjul Balaghah karya Ibnul Maitsam dan Ibnu Abil Hadid yang menguatkan riwayat ini.
Riwayat yang anda maksud itu masih dipertanyakan keshahihannya jadi tidak bisa menjadi penguat apapun karena riwayat itu sendiri justru lebih membutuhkan penguat dari yang lain.
Allah menyebutkan salah satu sifat golongan muttaqin –orang bertakwa- dalam surat Ali Imran ayat 134, yaitu mereka yang memaafkan kesalahan manusia.
Benar sekali, saya sangat sependapat dengan anda wahai penulis
Tidak layak kita menyimpan dendam dalam hati selama bertahun-tahun, tanyakan pada diri kita apa manfaat yang kita dapat dari menyimpan dendam? Yang kita dapat adalah rasa marah, tidak ada manfaat yang kita dapat. Sebaliknya, maaf dapat membuat hati kita tenang dan lapang, selain itu kita juga mendapat berita gembira dari Allah, apakah kita tidak ingin mendapat ampunan dari Allah?
Benar sekali wahai penulis dan saya tambahkan sangat tidak layak jika kata-kata anda ini ditujukan atas sikap Sayyidah Fatimah AS yang marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar RA sampai akhir hayatnya. Karena ini bukan soal dendam kesumat tetapi soal Kebenaran dan Hukum Allah SWT.
Saya tutup tulisan ini dengan Firman Allah SWT
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. (QS. Al Ma’idah 5:8 )
No comments:
Post a Comment